Menilik Saham TOBA Cs di Balik Peluang Proyek Energi Sampah Danantara

JAKARTA – Sektor waste to energy (WTE) kini menjadi primadona di pasar saham, menarik perhatian investor seiring dengan komitmen kebijakan Presiden Prabowo. Melalui entitas Danantara Indonesia, pemerintah berencana untuk gencar membangun fasilitas pembangkit listrik dari limbah, memberikan dorongan signifikan bagi emiten terkait.

M. Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, menegaskan bahwa proyek WTE memperoleh dukungan penuh dari pemerintah, terutama dalam aspek investasi. Danantara bahkan berhasil menerbitkan Patriot Bond sebagai salah satu instrumen pendanaan utama proyek tersebut.

Dalam sebuah dokumen yang diperoleh Bisnis.com, pemesanan Obligasi Patriot mencatatkan komitmen investasi dari 46 investor mencapai Rp51,75 triliun per 19 September 2025. Angka ini menunjukkan oversubscribed yang signifikan dibandingkan target awal Danantara sebesar Rp50 triliun. Dana segar yang berhasil dihimpun ini akan dialokasikan, salah satunya, untuk membiayai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL).

: Maharaksa (OASA) Paparkan Progres Proyek Sampah jadi Energi, Sejalan dengan Fokus Danantara

Danantara memperkirakan kebutuhan dana untuk pembangunan satu titik PSEL dengan kapasitas 1.000 ton per hari, beserta infrastruktur pendukungnya, berkisar antara Rp2 triliun hingga Rp3 triliun. Dengan asumsi 33 titik pembangunan PSEL akan direalisasikan, total dana yang dibutuhkan dapat mencapai antara Rp66 triliun hingga Rp99 triliun, sebuah proyeksi investasi yang kolosal.

Nafan melihat potensi besar bagi emiten-emiten seperti PT Maharaksa Biru Energi Tbk. (OASA) dan PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk. (BIPI) jika mereka terlibat dalam megaproyek pemerintah ini. Keterlibatan tersebut dapat menjadi peluang jangka panjang yang masif, khususnya bagi emiten non big caps yang sebelumnya memiliki kinerja keuangan cenderung underwhelming.

: : Danantara Dapat Suntikan Dana, Kebut Target Pembangkit Tenaga Sampah

Adanya pembangunan PSEL atau WTE, lanjut Nafan, diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kinerja fundamental emiten-emiten terkait secara signifikan. Potensi ini memicu ekspektasi positif di pasar modal.

Di lantai bursa, harga saham emiten-emiten di sektor WTE sepanjang tahun ini telah mencerminkan sentimen positif dari proyek Danantara ini. Hingga Rabu (1/10/2025), saham OASA melonjak 73,05% secara year to date ke level Rp244, didukung oleh aksi beli bersih investor asing sebesar Rp234,38 miliar. Sementara itu, harga saham BIPI juga tumbuh 13,79% ke Rp99 dengan net buy asing Rp382,13 miliar. Kinerja paling cemerlang ditunjukkan oleh TOBA yang melambung 211,56% ke Rp1.240, meski mencatat net sell asing Rp20,64 miliar.

: : Danantara Bidik Bangun Pembangkit Sampah di 8 Kota Utama

Namun, tidak semua saham pemilik portofolio WTE mengalami kenaikan. Saham PT United Tractors Tbk. (UNTR) justru merosot 2,71% year to date ke Rp26.050, disertai net sell asing sebesar Rp60,97 miliar. Demikian pula, saham PT Sumber Global Energy Tbk. (SGER) turun 13,61% ke Rp330, meskipun ada net buy asing Rp6,38 miliar.

Melihat dinamika ini, Nafan menyarankan investor untuk wait and see terhadap semua saham tersebut. Fokus utama seharusnya adalah menunggu bagaimana emiten-emiten ini mampu mengeksekusi rencana proyek WTE mereka, terutama OASA dan BIPI. “Sebenarnya sudah ter-priced in, tapi tinggal implementasinya yang kita harus tunggu. Karena kalau tidak ada implementasi ke depan, itu akan jadi sentimen negatif,” tegas Nafan.

Senada dengan itu, Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, menyoroti perbedaan aliran dana asing yang tercermin di setiap saham sebagai cerminan persepsi risiko dan valuasi. Ia menjelaskan bahwa TOBA dan UNTR, meskipun memiliki fundamental yang kuat, mencatat net sell year to date karena investor asing cenderung melakukan profit taking atau menilai valuasi keduanya sudah relatif premium.

Sebaliknya, OASA, SGER, dan BIPI mencatatkan net buy karena dipandang sebagai ‘cerita pertumbuhan’ baru, meskipun basis fundamental mereka relatif lebih kecil. Sukarno menduga bahwa investor asing mungkin bersifat spekulatif, mengantisipasi percepatan regulasi dan berita utama terkait proyek WTE yang akan datang.

Berdasarkan analisisnya, Sukarno merekomendasikan beli untuk TOBA dan SGER. TOBA dinilai paling defensif karena telah membukukan kontribusi dari proyek WTE, sedangkan SGER menarik bagi investor yang mencari ‘growth play‘ karena target pendapatan dari WTE yang disasar perusahaan mulai terlihat jelas. Untuk BIPI, ia merekomendasikan trading buy, mengingat emiten ini prospektif namun memiliki risiko tinggi karena proyeknya masih tahap awal dan membutuhkan pendanaan besar.

Sementara itu, untuk OASA, rekomendasi adalah wait and see. Proyek jangka panjang OASA dengan target 2028 memang menarik untuk investasi jangka panjang, namun belum ada kontribusi yang terasa dalam jangka pendek. Terakhir, rekomendasi hold diberikan untuk UNTR. “UNTR tetap solid secara fundamental, tapi kontribusi WTE masih sangat kecil, di bawah 5%. Jadi katalis belum signifikan,” pungkas Sukarno.

Di sisi lain, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, mengakui bahwa TOBA saat ini merupakan emiten terdepan dalam proyek WTE. Namun, ia menilai valuasinya relatif mahal, diperdagangkan di sekitar 21 kali EV/EBITDA, jauh di atas rata-rata global pemain waste management di level 11–16 kali. Ini mengindikasikan bahwa pasar sudah menghargai ‘cerita transisi energi’ TOBA pada level yang cukup tinggi.

“Kami melihat TOBA cocok untuk investor yang mencari stabilitas jangka panjang karena sudah terbukti menghasilkan pendapatan dari WTE, meski upside harga sahamnya terbatas akibat valuasi mahal,” ujar Imam. Jika dicermati dari sentimen investor asing, Imam melihat pola menarik: saham-saham dengan basis bisnis relatif kecil atau baru merambah WTE seperti OASA, SGER, dan BIPI justru mendapat arus dana asing. Hal ini disebabkan potensi pertumbuhan yang signifikan bisa langsung terasa pada emiten-emiten tersebut.

Menurutnya, SGER dan BIPI memiliki potensi pertumbuhan yang menarik karena momentum WTE dapat berdampak signifikan terhadap pendapatan mereka di masa depan, meskipun tetap ada risiko pendanaan dan eksekusi proyek yang perlu diwaspadai. “OASA lebih bersifat spekulatif karena proyeknya baru akan berjalan 2028, sedangkan UNTR lebih pas dilihat sebagai saham dividen/value play ketimbang energi hijau,” tutup Imam.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *