JAKARTA – Meskipun mencatatkan performa positif, return reksadana saham hingga September 2025 ternyata masih tertinggal jauh dibandingkan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Fenomena ini menarik perhatian para analis pasar modal, terutama mengingat kondisi ekonomi yang dinamis.
Berdasarkan data Infovesta, per September 2025, reksadana saham secara kumulatif mencatatkan return 4,8% year-to-date (ytd). Angka ini kontras dengan pergerakan IHSG yang melesat 13,9% ytd dalam periode yang sama. Disparitas ini memicu pertanyaan mengenai faktor-faktor di balik kinerja reksadana saham yang terkesan kurang agresif.
Arjun Ajwani, Research Analyst dari Infovesta Kapital Advisori, menilai bahwa perlambatan return reksadana saham dibandingkan IHSG adalah hal yang wajar. Ia menjelaskan, mayoritas produk reksadana saham cenderung berinvestasi pada saham-saham berkapitalisasi besar (big caps) dan kategori blue chip. Manajer investasi seringkali terikat pada acuan indeks besar seperti LQ45, IDX 80, dan IDX 30, yang notabene merupakan kumpulan saham-saham unggulan tersebut. Oleh karena itu, potensi risiko dan return reksadana saham tidak setinggi saham lapis kedua atau saham-saham yang lebih volatil.
Arjun menambahkan, “Indeks blue-chip itu tertekan saham-saham lapis kedua dan saham-saham ‘gorengan’, IPO, dan lain-lain yang melonjak sepanjang tahun ini.” Ini menunjukkan bahwa kenaikan signifikan IHSG sebagian besar didorong oleh pergerakan saham-saham di luar kategori blue chip yang menjadi fokus utama reksadana saham.
Secara sektoral, Arjun mencermati bahwa sektor keuangan menjadi penentu utama kinerja reksadana saham. Hal ini karena sektor keuangan memiliki bobot tertinggi dalam indeks acuan blue chip seperti LQ45. Emiten perbankan empat besar juga telah lama menjadi pilihan utama dalam produk reksadana saham. Dengan valuasi yang menarik dan potensi rebound teknikal, Arjun memprediksi saham sektor perbankan dapat menjadi penopang kinerja reksadana saham pada kuartal IV-2025.
Selain sektor keuangan, Arjun juga menyoroti sektor barang baku dan properti sebagai kandidat pendorong kinerja reksadana saham. Prospek kedua sektor ini didukung oleh potensi pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) di masa mendatang. Sektor energi juga berpotensi menguat berkat adanya potensi rebound harga komoditas. Terakhir, sektor kesehatan dianggap unggulan dengan prospek jangka panjang yang kondusif, didorong oleh pengembangan teknologi AI dan peningkatan usia harapan hidup masyarakat.
Potensi Tumbuh Masih Ada
Melihat kondisi ini, Reza Fahmi, Head of Business Development Division PT Henan Putihrai Asset Management, optimistis bahwa ruang pertumbuhan bagi reksadana saham masih terbuka lebar. Meskipun volatilitas pasar harus tetap diantisipasi, Reza memperkirakan reksadana saham secara rata-rata bisa tetap mencatat kinerja positif hingga akhir tahun, dengan kisaran single digit tinggi. Bahkan, reksadana syariah dinilai bisa tampil lebih menonjol berkat eksposurnya pada sektor komoditas.
Bagi investor, Reza menekankan pentingnya disiplin dan menjaga diversifikasi portofolio, serta melakukan rebalancing jika diperlukan. Ia berpesan agar investor fokus pada pengelolaan risiko dan mempertahankan horizon jangka panjang, alih-alih mengejar momentum sesaat yang seringkali bersifat fluktuatif.
Produk Reksadana Saham Jawara
Menurut data Infovesta, beberapa produk reksadana saham berhasil mencatatkan kinerja luar biasa. Hingga September 2025, produk Demina Mitra Maxima Ekuitas milik PT Demina Capital Asset Management menjadi jawara dengan return 61,64% ytd dan 21,25% secara bulanan (mom).
Berdasarkan fund fact sheet, produk yang diluncurkan pada 19 Januari 2018 ini memiliki alokasi aset sebesar 99% pada saham dan 1% pada pasar uang. Kepemilikan efek terbesarnya meliputi saham PT Andalan Perkasa Abadi Tbk (NASA) dan PT Sitara Propertindo Tbk (TARA) masing-masing 13,78%, diikuti PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE) 8,92%, dan PT Bhakti Multi Artha Tbk (BHAT) 8,89%.
Sementara itu, secara bulanan, kinerja reksadana saham pada September 2025 didominasi oleh Anargya Superfund Equity Growth milik PT Anargya Aset Manajemen, yang mencatat return fantastis sebesar 58,55% mom. Produk yang diluncurkan pada 5 April 2022 ini memiliki bobot investasi terbesar pada saham CLAY sebesar 26,96%, ENRG sebesar 17,65%, dan DEWA sebesar 11,23%.
Secara keseluruhan, Infovesta juga mencatat bahwa dana kelolaan (Aset Under Management/AUM) industri reksadana per Agustus 2025 mencapai Rp 554 triliun, naik 3,51% secara bulanan. Namun, pertumbuhan ini diiringi kenaikan unit penyertaan (UP) yang hanya sebesar 1,02% menjadi 412,58 miliar unit. Arjun Ajwani mengamati bahwa angka ini mengindikasikan pertumbuhan UP yang jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan AUM. Hal ini menandakan bahwa kontribusi inflow investor baru masih sedikit, dan peningkatan AUM sebagian besar didorong oleh kenaikan nilai aset dalam portofolio reksadana saham itu sendiri.
Ringkasan
Kinerja reksadana saham hingga September 2025 mencatatkan return 4,8% year-to-date, tertinggal dari kenaikan IHSG yang mencapai 13,9%. Hal ini disebabkan mayoritas reksadana saham berinvestasi pada saham berkapitalisasi besar (blue chips) yang pergerakannya tidak seagresif saham lapis kedua atau saham “gorengan”. Sektor keuangan menjadi penentu utama kinerja reksadana saham karena bobotnya yang besar dalam indeks acuan.
Meskipun demikian, potensi pertumbuhan reksadana saham masih terbuka lebar dengan perkiraan kinerja positif hingga akhir tahun. Investor disarankan untuk disiplin, menjaga diversifikasi portofolio, melakukan rebalancing jika perlu, dan fokus pada pengelolaan risiko dengan horizon jangka panjang. Beberapa produk reksadana saham mencatatkan kinerja luar biasa, seperti Demina Mitra Maxima Ekuitas dan Anargya Superfund Equity Growth.