Harga saham PT Minahasa Membangun Hebat Tbk (HBAT) menjadi sorotan belakangan ini setelah melejit signifikan, memicu langkah suspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Kenaikan tajam ini, yang mencapai 45,19% dalam sebulan terakhir dengan harga terakhir Rp 151 per saham, telah menarik perhatian investor.
Langkah suspensi terhadap saham HBAT diberlakukan BEI sejak tanggal 28 Agustus 2025. Alasan utama di balik kebijakan ini adalah terjadi kenaikan harga kumulatif yang dianggap anomali di pasar. Dinamika harga saham yang ekstrem ini mengundang berbagai spekulasi di kalangan pelaku pasar.
Menanggapi lonjakan harga saham tersebut, emiten properti yang berbasis di Minahasa, Sulawesi Utara ini, memberikan penjelasan. Direktur Utama HBAT, Go Ronny Nugroho, menegaskan bahwa fenomena tersebut murni merupakan dinamika pasar, tanpa adanya aksi korporasi spesifik yang menjadi pemicu. Ia juga menjelaskan bahwa struktur kepemilikan saham HBAT tetap tidak berubah sejak penawaran umum perdana (IPO).
Tren kenaikan harga saham HBAT mulai terlihat sejak 20 Agustus 2025, saat saham ditutup di level Rp 113 dengan volume transaksi 2,43 juta saham. Esok harinya, pada 21 Agustus 2025, harga kembali melesat 9,73% ke posisi Rp 124 per saham dengan volume transaksi 2,13 juta saham. Kenaikan berlanjut pada 22 Agustus 2025, mencapai Rp 136 per saham atau naik 9,67%, meskipun volume transaksi sedikit menurun menjadi 1,06 juta saham.
Dalam Paparan Publik Insidentil yang diselenggarakan pada Rabu (3/9/2025), Go Ronny Nugroho kembali menegaskan, “Lonjakan harga saham ini murni dinamika pasar. Tidak ada intervensi ataupun aksi korporasi tertentu yang memicu kenaikan harga.” Ia merinci komposisi kepemilikan saham yang stabil, di mana Hendra Sutanto menguasai 467,76 juta saham, Rudy Gunawan 215,28 juta saham, Jon Fieris 116,96 juta saham, dan publik memiliki total 240,74 juta saham.
Meski harga saham melonjak, kinerja keuangan HBAT masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Hingga semester I 2025, penjualan perseroan tercatat sebesar Rp 12,32 miliar, menunjukkan penurunan 30,86% dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang mencapai Rp 17,82 miliar. Namun, kabar baiknya, rugi komprehensif tahun berjalan berhasil ditekan secara signifikan sebesar 50,23% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 2,11 miliar, dari sebelumnya Rp 4,24 miliar pada semester I 2024.
Dari sisi neraca, aset HBAT sedikit terkoreksi 0,25% menjadi Rp 81,87 miliar dibandingkan akhir Desember 2024 yang sebesar Rp 82,08 miliar. Di sisi lain, ekuitas HBAT menunjukkan pertumbuhan positif 2,69% menjadi Rp 80,41 miliar dari Rp 78,3 miliar pada akhir Desember 2024. Perseroan juga berhasil menekan beban utang secara drastis sebesar 61,37% menjadi Rp 1,46 miliar dari posisi akhir Desember 2024 yang sebesar Rp 3,78 miliar.
Penurunan Daya Beli Jadi Tantangan
Direktur HBAT, Andrie Rianto, menambahkan bahwa penurunan daya beli masyarakat menjadi rintangan utama yang harus dihadapi perseroan di tahun 2025. Kondisi ini mendorong manajemen untuk merevisi target penjualan dan laba bersih di tahun tersebut. Semula, HBAT menargetkan penjualan Rp 73 miliar dan laba bersih Rp 15 miliar, namun kini memangkas target masing-masing sebesar 40% menjadi Rp 43 miliar untuk penjualan dan Rp 9 miliar untuk laba bersih.
Andrie menjelaskan bahwa realisasi belanja modal perseroan hingga semester I 2025 mencapai Rp 1,25 miliar, dengan alokasi serupa untuk semester II 2025, yang seluruhnya diarahkan untuk pembangunan kantor pemasaran. Di tengah tekanan yang melanda sektor perhotelan dan properti, perseroan berkomitmen untuk terus menjaga momentum pertumbuhan melalui efisiensi operasional dan pengelolaan aset yang sehat. Manajemen tetap optimistis bahwa HBAT mampu mencatatkan kinerja positif di masa depan, meskipun tantangan bisnis masih membayangi. Para investor pun saat ini menantikan strategi baru perseroan untuk mengembalikan tren pertumbuhan jangka panjang di tengah ketatnya persaingan industri properti.
Menanggapi situasi ini, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai bahwa kinerja fundamental HBAT memang belum impresif, terutama karena adanya peningkatan beban pokok penjualan (COGS) dan beban operasional (opex). Oleh karena itu, suspensi saham HBAT oleh BEI dianggap wajar, mengingat adanya anomali lonjakan harga di tengah penurunan kinerja fundamental perusahaan.
Nafan lebih lanjut menyoroti bahwa kondisi daya beli masyarakat yang masih lesu menjadi faktor penyebab utama penurunan kinerja perseroan. “Nanti bisa dilihat lagi kinerja HBAT di kuartal III, tetapi mungkin masih underwhelming. Mungkin di kuartal IV diharapkan bisa ada pemulihan,” ujarnya kepada Kontan pada Rabu (3/9). Dengan pertimbangan tersebut, Nafan belum memberikan rekomendasi untuk saham HBAT, terutama karena pergerakan sahamnya yang cenderung kurang likuid.