Indonesia menunjukkan komitmen tak tergoyahkan untuk meraih target Net Zero Emission (NZE) 2060, dengan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai pilar utamanya. Sebuah visi ambisius telah dicanangkan: mendorong pemanfaatan 1 megawatt (MW) panel surya di setiap desa di seluruh pelosok negeri.
Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam gelaran Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta, Jumat (10/10). Menurut Bahlil, hadirnya solar panel di setiap desa tidak hanya akan meningkatkan pemanfaatannya di Tanah Air, tetapi juga akan melipatgandakan kapasitas energi. “Dengan adanya 80 ribu desa, total energi dari panel surya berpotensi mencapai 80 gigawatt,” jelasnya, menyoroti skala potensi yang luar biasa.
Untuk mengakselerasi penetrasi EBT, Kementerian ESDM secara aktif menjalin kolaborasi strategis dengan para investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, pemerintah juga tengah gencar mengupayakan efisiensi regulasi, sebuah langkah krusial untuk mempercepat adopsi energi terbarukan.
Sebagai bukti nyata komitmen ini, Kementerian ESDM kini memangkas secara signifikan proses perizinan pengelolaan panas bumi. Jika sebelumnya perizinan ini membutuhkan waktu lebih dari setahun, kini, ungkap Bahlil, “Kami sudah mulai mengubahnya, cukup 3 bulan sudah selesai. Proses tender juga tidak perlu berlama-lama.” Percepatan ini diharapkan dapat menjadi daya tarik kuat bagi lebih banyak investor di bidang EBT untuk berinvestasi di Indonesia.
Di tengah sorotan global terhadap isu energi bersih, produk-produk yang dihasilkan dari EBT kini memiliki nilai jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengandalkan energi fosil. Pemerintah Indonesia bertekad kuat untuk menangkap peluang emas ini, didukung oleh potensi energi bersih Tanah Air yang melimpah, meliputi tenaga surya, panas bumi, air, dan angin.
Meskipun demikian, Kementerian ESDM mencatat bahwa target bauran EBT sebesar 23 persen kemungkinan baru akan tercapai sekitar tahun 2029 atau 2030. Implementasi target ini akan sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur dan investasi nasional. Saat ini, pemerintah berfokus pada penguatan realisasi proyek-proyek EBT melalui dokumen perencanaan nasional, termasuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang dimiliki PT PLN (Persero).
Melengkapi gambaran tersebut, Menteri Investasi dan Hilirisasi, atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan P. Roeslani, mengungkapkan bahwa potensi berbagai sumber EBT di Indonesia mencapai hampir 3.700 gigawatt (GW), sebuah angka yang memukau.
Rosan merinci bahwa potensi ini terdiri dari energi surya sebesar 3.294 GW, angin 155 GW, air 95 GW, bioenergi 57 GW, panas bumi 23 GW, dan pasang surut 63 GW. Namun, ironisnya, pemanfaatan energi baru dan terbarukan ini masih jauh dari optimal, saat ini bahkan berada di bawah 1 persen atau setara dengan 15,2 GW.
“Potensi luar biasa ini menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi yang sangat menarik bagi investor global yang memiliki teknologi dan kapasitas pendanaan untuk mengembangkan proyek energi bersih berskala besar di sini,” ujar Rosan. Ia menambahkan, potensi investasi untuk mendukung transisi energi bersih dan berkelanjutan diperkirakan mencapai USD3,8 triliun, angka yang setara dengan sekitar 4 persen dari total PDB kumulatif nasional periode 2025-2050.
Rachmat Kaimuddin, selaku Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko Infra), mengakui bahwa perjalanan transisi energi di Tanah Air memang masih panjang, namun ia menegaskan bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang benar. “Yes, kita sudah berada di jalur yang benar. Tapi perjalanan kita memang masih panjang,” kata Rachmat, menggarisbawahi kemajuan nyata Indonesia dalam peralihan menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Rachmat menekankan bahwa pemerintah sepenuhnya menyadari bahwa transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan bukanlah proses instan. Oleh karena itu, berbagai aksi strategis terus digalakkan Indonesia demi mempercepat dekarbonisasi dan meningkatkan penetrasi EBT. Menurutnya, negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema ganda dalam isu keberlanjutan: di satu sisi, kita dihadapkan pada krisis iklim, namun di sisi lain, kita juga berambisi untuk terus tumbuh sebagai negara berpenghasilan menengah.
Dalam konteks inilah, penyelenggaraan ISF selama dua hari pada 10-11 Oktober 2025 menjadi momentum krusial dalam perjalanan Indonesia menuju pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan, menawarkan platform vital di tengah situasi global yang penuh tantangan.
ISF, sebuah forum tahunan yang telah dimulai sejak 2023, berfungsi sebagai wadah kolaborasi terkemuka untuk mendorong investasi, inovasi, dan aksi nyata menuju pembangunan berkelanjutan. Sejak awal penyelenggaraannya, forum ini telah mencatatkan pencapaian signifikan, termasuk menarik lebih dari 11.000 peserta dari 53 negara, memfasilitasi 12 nota kesepahaman di sektor transisi energi dan dekarbonisasi, serta berhasil menghubungkan berbagai proyek strategis dengan sumber pembiayaan baru.
Pada tahun 2025 ini, ISF kembali menegaskan posisinya sebagai ajang utama yang mempertemukan para pemimpin global, inovator, dan pembuat kebijakan. Tujuannya jelas: untuk mempercepat pertumbuhan berkelanjutan yang seimbang demi kesejahteraan umat manusia dan kelestarian bumi.