Shoesmart.co.id JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mempersiapkan gebrakan besar di pasar modal Indonesia dengan mengkaji perubahan aturan free float, atau porsi saham yang beredar di publik. Langkah strategis ini, meskipun diprediksi dapat menekan sejumlah emiten dalam jangka pendek, diyakini akan membawa dampak positif signifikan bagi pasar modal dalam jangka panjang.
Pada 18 September 2025, OJK telah menyampaikan usulan kepada Komisi XI DPR RI untuk menaikkan batas minimum free float secara bertahap, dari 7,5% menjadi 10%. Tak hanya itu, OJK juga mengusulkan perubahan fundamental dalam pendekatan penghitungan free float, beralih dari basis nilai ekuitas menjadi berbasis nilai kapitalisasi pasar. Pendekatan baru ini mengadopsi praktik yang telah sukses diterapkan di berbagai pasar modal global, termasuk Malaysia, Singapura, dan Hong Kong, menunjukkan komitmen OJK untuk menyelaraskan regulasi domestik dengan standar internasional.
Dua Skema Transformasi Aturan
Dalam rencana perubahannya, OJK mengusulkan dua skema yang berbeda, disesuaikan untuk emiten yang baru melakukan penawaran umum perdana (IPO) dan emiten yang telah tercatat (listing) di bursa. Untuk emiten IPO, batas minimum free float akan disesuaikan dengan skala kapitalisasi pasar mereka:
- Jika kapitalisasi pasar kurang dari Rp 5 triliun: minimal free float 20%
- Jika kapitalisasi pasar antara Rp 5 triliun hingga Rp 50 triliun: minimal free float 15%
- Jika kapitalisasi pasar di atas Rp 50 triliun: minimal free float 10%
Sementara itu, bagi emiten yang sudah listing, OJK mengusulkan kenaikan bertahap batas minimum free float dari 7,5% menjadi 10% dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Setelah periode tersebut, aturan akan dievaluasi secara berkala untuk mempertimbangkan potensi peningkatan lebih lanjut, demi menjaga dinamika dan kesehatan pasar.
Simulasi OJK menunjukkan skala dana yang harus diserap pasar. Jika batas minimum free float naik menjadi 10%, pasar perlu menyerap saham senilai Rp 36,64 triliun. Angka ini melonjak drastis jika batasnya dinaikkan ke 15% (Rp 232,12 triliun), 20% (Rp 527,58 triliun), bahkan mencapai Rp 956,2 triliun untuk 25%. Angka-angka ini menggambarkan tantangan besar yang harus diantisipasi oleh pasar modal Indonesia.
DPR Menyerukan Ambisi Lebih Tinggi: Minimum 30%
Semangat untuk menciptakan pasar modal yang lebih kuat juga digaungkan oleh Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun. Ia bahkan mengusulkan agar batas minimum free float dinaikkan hingga 30%. Menurut Misbakhun, langkah berani ini akan mendorong terciptanya pasar modal yang tidak hanya lebih aktif dan aman, tetapi juga sangat likuid. Ia menyoroti bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga; Singapura dan Filipina telah menetapkan batas minimum free float masing-masing 10%, sementara Thailand dan Malaysia telah mencapai level 15% dan 25%.
Menanggapi usulan ini, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa pihaknya bersama Self-Regulatory Organization (SRO) sedang intens mengkaji rencana implementasi aturan baru ini, termasuk dampaknya terhadap regulasi yang ada. Beleid mengenai free float saat ini tercantum dalam Undang-Undang Pasar Modal Pasal 35 huruf e serta Peraturan Bursa Nomor I-A Tahun 2021. “Selanjutnya akan dibahas bersama bursa (BEI) dan juga Asosiasi Emiten Indonesia dalam rapat kerja Komisi XI (DPR RI) yang nantinya direncanakan pada kuartal IV 2025,” terang Inarno dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Kamis (9/10/2025).
Potensi Guncangan Jangka Pendek bagi Emiten
Harry Su, Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, memperingatkan bahwa kenaikan batas minimum free float berpotensi menekan saham-saham dengan porsi publik yang rendah dalam jangka pendek. Emiten-emiten ini, untuk memenuhi aturan baru, harus melepas sebagian sahamnya ke publik. Situasi ini dapat menciptakan tambahan suplai saham yang besar dalam waktu singkat, berpotensi menekan harga saham akibat tekanan jual. “Potensi tekanan jual besar di awal penerapan, serta risiko hilangnya kendali bagi pemegang saham utama,” jelas Harry kepada Kontan, Jumat (10/10/2025). Ia menambahkan, pasar modal Indonesia belum tentu siap menyerap tambahan suplai saham tersebut secara instan. Jika aturan diterapkan penuh tanpa transisi yang memadai, harga saham berpotensi terkoreksi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. “Penerapan bertahap sangat penting,” tegasnya, menekankan pentingnya strategi implementasi yang cermat.
Terang Benderang Prospek Jangka Panjang
Namun, di balik potensi tantangan jangka pendek, harapan cerah menyelimuti prospek jangka panjang. Angga Septianus, Community and Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), menilai kenaikan batas free float dapat memperluas kepemilikan saham publik, mengurangi dominasi segelintir pemegang saham besar. Dengan lebih banyak saham beredar di tangan publik, transaksi harian diprediksi akan meningkat, likuiditas pasar bertambah, dan pergerakan harga menjadi lebih sehat serta transparan. “Hal ini juga tidak akan memengaruhi kinerja saham karena fundamental saham adalah hal yang berbeda,” ujar Angga, memisahkan dampak kebijakan dari nilai intrinsik perusahaan.
Senada, Oktavianus Audi, VP Equity Retail Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, berpendapat bahwa peningkatan jumlah saham beredar akan secara efektif mengurangi peluang manipulasi harga, khususnya pada saham-saham dengan free float rendah. Ia menambahkan, peningkatan rasio saham publik ini akan memperkuat kredibilitas pasar modal Indonesia di mata investor global, termasuk penyusun indeks dan pengelola dana pasif seperti ETF. “Ini bisa mendorong aliran dana pasif (passive inflow) masuk ke pasar Indonesia,” jelasnya. Harry Su turut menambahkan bahwa peningkatan likuiditas ini akan membuka peluang bagi banyak saham Indonesia untuk masuk ke indeks global unggulan seperti Morgan Stanley Capital International (MSCI) dan FTSE International Limited. “Peningkatan likuiditas juga bisa menjadi katalis positif yang mendorong re-rating dan menarik investor institusi,” imbuhnya, menandakan potensi lonjakan daya tarik investasi.
Strategi Investasi di Tengah Perubahan Aturan Free Float
Dalam menghadapi potensi perubahan aturan yang signifikan ini, Harry Su menyarankan investor untuk tetap berpegang pada saham-saham berfundamental kuat dari sektor yang tangguh, seperti perbankan, telekomunikasi, dan barang konsumsi pokok (consumer staples). Selain itu, investor sebaiknya mempertimbangkan saham yang memiliki likuiditas tinggi dan telah terbukti menarik bagi investor asing.
Angga Septianus memberikan saran komprehensif agar investor memperhatikan besaran free float yang ada, kinerja bisnis emiten secara keseluruhan, serta rencana aksi korporasi yang akan dilakukan. Sementara itu, Oktavianus Audi menekankan pentingnya mengevaluasi emiten dengan free float di bawah 15%, karena kelompok ini akan menjadi yang paling terpapar risiko dari kebijakan baru. Ia juga menyarankan investor untuk menyiapkan cash buffer sebagai langkah antisipasi terhadap potensi sell-off pada saham-saham berkualitas dengan fundamental kuat. Berdasarkan data yang dihimpun Audi, terdapat sekitar 17 emiten big caps anggota LQ45 yang saat ini memiliki free float di bawah 30%–40%, mencakup berbagai sektor seperti energi, barang baku, konsumer, hingga telekomunikasi, menandakan bahwa dampak kebijakan ini akan dirasakan luas di bursa.
Ringkasan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji perubahan aturan free float di pasar modal Indonesia, dengan usulan kenaikan batas minimum menjadi 10% dan perubahan pendekatan penghitungan berbasis nilai kapitalisasi pasar. Perubahan ini bertujuan untuk menyelaraskan regulasi dengan standar internasional dan meningkatkan likuiditas pasar modal. Dua skema diusulkan, satu untuk emiten IPO dengan batas minimum free float bervariasi sesuai kapitalisasi pasar, dan satu lagi untuk emiten yang sudah listing dengan kenaikan bertahap menjadi 10% dalam tiga tahun.
Kenaikan batas minimum free float berpotensi menekan saham-saham dengan porsi publik rendah dalam jangka pendek, namun diharapkan dapat memperluas kepemilikan saham publik, meningkatkan likuiditas, dan mengurangi peluang manipulasi harga dalam jangka panjang. Investor disarankan untuk memperhatikan saham-saham berfundamental kuat, likuiditas tinggi, dan besaran free float yang ada, serta menyiapkan cash buffer untuk mengantisipasi potensi sell-off.