Pajak Online Baru: Kemenkeu Jelaskan Alasannya!

Pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian aturan perpajakan bagi pedagang online di platform e-commerce. Langkah ini dipicu oleh pertumbuhan pesat ekonomi digital Indonesia yang mencapai Rp 1.454 triliun pada tahun 2024, meningkat 6,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya – jauh melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, tidak semua transaksi ini terpantau oleh sistem perpajakan, mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan signifikan dalam mekanisme pemungutan pajak.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menjelaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk mempermudah pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Sebelumnya, pedagang online harus menghitung, melapor, dan menyetorkan pajak terutang sendiri. Kini, platform e-commerce akan bertindak sebagai pemungut pajak, memotong dan menyetorkan langsung ke kantor pajak. Yon menekankan bahwa ini bukan pajak baru, melainkan perubahan mekanisme untuk penyederhanaan proses.

Kebijakan ini memberikan keringanan, khususnya bagi pedagang kecil. Pajak yang dipotong platform tetap dapat dijadikan kredit pajak, terutama bagi mereka yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar atau yang dikenai tarif final 0,5 persen. Yon menambahkan, langkah ini penting untuk menciptakan persaingan yang setara di antara pelaku usaha di sektor jasa yang didominasi transaksi digital.

Dasar hukum perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. PMK ini mengatur penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi pedagang dalam negeri. Pedagang wajib memberikan informasi transaksi kepada marketplace sebagai dasar pemungutan pajak.

Meskipun PMK telah berlaku, implementasinya menunggu Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen) yang akan menetapkan kriteria marketplace sebagai pemungut pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa DJP akan melakukan sosialisasi kepada marketplace besar dan mengembangkan aplikasi khusus untuk mendukung proses pemungutan pajak. Pihak DJP memprioritaskan marketplace berskala besar, mirip dengan penunjukan 211 pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) besar sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2020.

Yoga menambahkan bahwa implementasi penuh kebijakan ini diperkirakan baru akan berjalan dalam 1-2 bulan setelah marketplace siap melakukan penyesuaian sistem dan setelah Kepdirjen terkait kriteria marketplace diterbitkan. Dengan demikian, penyesuaian ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan di sektor ekonomi digital yang berkembang pesat di Indonesia.

Ringkasan

Pemerintah Indonesia mengubah aturan perpajakan online untuk pedagang di e-commerce karena pertumbuhan ekonomi digital yang pesat (Rp 1.454 triliun di 2024) dan belum optimalnya pemantauan pajak. Perubahan ini bukan pajak baru, melainkan penyederhanaan mekanisme; marketplace akan menjadi pemungut pajak, memotong dan menyetorkan langsung ke kantor pajak, meringankan beban pedagang, terutama yang kecil.

Dasar hukumnya adalah PMK Nomor 37 Tahun 2025 yang menunjuk marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22. Implementasinya menunggu Kepdirjen terkait kriteria marketplace dan sosialisasi dari DJP, diperkirakan 1-2 bulan ke depan. Pedagang tetap dapat memanfaatkan kredit pajak, dan kebijakan ini bertujuan menciptakan persaingan usaha yang adil di sektor digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *