UMKM Naik Kelas Terganjal Kuantitas: Kata BI, Apa Solusinya?

Produk UMKM Indonesia kini tidak hanya berjaya di pasar lokal. Kualitas istimewa dari tenun, batik, hingga kopi lokal telah mengalami peningkatan signifikan berkat pendampingan intensif yang berkelanjutan. Namun, di tengah gemilangnya potensi ini, perjalanan menuju pasar global masih menghadapi kendala krusial: keterbatasan kuantitas produksi.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung, menyoroti persoalan ini sebagai hambatan serius, bukan hanya dalam konteks ekspor semata. Lebih dari itu, isu kuantitas juga berpotensi merugikan reputasi pelaku usaha di mata para pembeli dari luar negeri.

“Keluhan utama mereka adalah soal kuantitas pasokan. Bulan ini satu kontainer mungkin bisa datang, bulan depan bisa terulang. Tetapi, memasuki bulan ketiga, barang sudah tidak ada lagi,” ungkap Juda Agung saat penutupan acara Karya Kreatif Indonesia (KKI) pada Minggu (10/8) lalu, menggambarkan betapa rentannya pasokan UMKM secara individu.

Menurut Juda, para pelaku UMKM yang bergerak secara mandiri akan kesulitan mencapai economic of scale yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan besar. Oleh karena itu, Bank Indonesia secara aktif mendorong konsep korporatisasi. Melalui pendekatan ini, pelaku usaha didorong untuk tergabung dalam klaster, koperasi, atau bentuk badan usaha lain yang lebih terstruktur. Dengan bersatu, pasokan dapat terjaga stabilitasnya, sekaligus meningkatkan kepercayaan bank untuk menyalurkan pembiayaan.

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi UMKM tidak semata-mata terbatas pada kapasitas produksi. Perubahan cepat dalam tren global menuntut adaptasi proaktif dari para pelaku usaha, terutama terhadap tren ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi sirkular (circular economy) yang semakin dominan.

Kesadaran konsumen, termasuk generasi Z, terhadap isu keberlanjutan kini semakin tinggi. Produk yang ramah lingkungan, memanfaatkan bahan daur ulang, atau mengusung prinsip ekonomi sirkular mulai menjadi syarat tak tertulis dalam persaingan di perdagangan internasional.

“Saat ini, kesadaran masyarakat, termasuk Gen Z di Indonesia, terhadap isu lingkungan (green) semakin tinggi. Inilah yang memerlukan bimbingan lebih lanjut bagi UMKM untuk mengadaptasi praktik ekonomi hijau,” jelas Juda Agung. Ia menambahkan bahwa tren daur ulang terus menguat di berbagai belahan dunia, sehingga UMKM yang ingin bersaing di kancah global perlu mengantisipasi perubahan ini sejak dini.

Bagi Bank Indonesia, peningkatan daya saing UMKM bukanlah proses instan. Diperlukan konsistensi program, kolaborasi erat antarberbagai pihak, serta inovasi berkelanjutan agar para pelaku usaha tidak hanya sekadar bertahan, melainkan juga mampu tumbuh dan berkembang pesat di pasar global.

Ringkasan

UMKM Indonesia memiliki kualitas produk yang baik, namun terkendala kuantitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar global. Keterbatasan ini berpotensi merugikan reputasi UMKM di mata pembeli internasional karena ketidakstabilan pasokan.

Bank Indonesia mendorong korporatisasi UMKM melalui klaster atau koperasi untuk meningkatkan kapasitas produksi dan stabilitas pasokan. Selain itu, UMKM perlu beradaptasi dengan tren global seperti ekonomi hijau dan ekonomi sirkular untuk meningkatkan daya saing di pasar internasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *