JAKARTA – Aliran modal keluar asing atau foreign capital outflow di pasar saham Indonesia diperkirakan akan semakin deras. Fenomena ini muncul seiring melonjaknya persepsi risiko keuangan yang dapat terukur dari kenaikan signifikan pada credit default swap (CDS) serta peningkatan yield Surat Utang Negara (SUN). Situasi ini menandakan potensi gejolak yang lebih besar bagi stabilitas finansial Tanah Air.
Berdasarkan pantauan Bloomberg pada Selasa (9/9) pukul 11.00 WIB, data menunjukkan bahwa CDS 5 tahun Indonesia telah melonjak menjadi 72,52 basis poin, naik dari posisi sebelumnya di 67,72 basis poin. Bersamaan dengan itu, yield SUN 10 tahun, yang sering dijadikan seri acuan, juga bergerak naik menjadi 6,45%, setelah sehari sebelumnya berada di kisaran 6,39%. Kenaikan kedua indikator ini secara simultan menjadi sinyal kuat akan memburuknya sentimen investor terhadap Indonesia.
Menanggapi kondisi ini, Reydi Octa, seorang Pengamat Pasar Modal Indonesia, berpendapat bahwa peningkatan persepsi risiko keuangan di Tanah Air merupakan respons langsung pasar terhadap kabar reshuffle Sri Mulyani dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan. Menurut Reydi, “Lonjakan CDS dan yield SUN jelas mengindikasikan bahwa Indonesia kini dipandang lebih berisiko dibandingkan periode sebelum pergantian Sri Mulyani. Dalam persaingan ketat antaremerging market, investor asing mulai mengalihkan portofolio mereka ke negara-negara yang menawarkan stabilitas fiskal yang lebih terjamin.” Pernyataan ini disampaikan Reydi kepada Bisnis pada Selasa (9/9/2025).
Reshuffle Sri Mulyani Tambah Tekanan pada Kepemilikan Asing di Emiten Perbankan (BBCA, BMRI, BBRI)
Dampak langsung dari fenomena ini terlihat jelas pada penutupan pasar Senin (8/9/2025), bertepatan dengan pengumuman reshuffle kabinet. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok tajam 1,28% menjadi 7.766,84, diiringi oleh aksi net sell asing yang mencapai Rp526,17 miliar. Arus modal asing yang terkikis ini memperburuk catatan net sell asing secara year-to-date (YTD), yang kini membengkak menjadi Rp55,65 triliun.
Kontras dengan kondisi di Indonesia, pasar saham emerging market lainnya justru menunjukkan penguatan. Sebagai contoh, FTSE Bursa Malaysia KLCI Index berhasil menguat 0,47% ke level 1.585,59, sementara SET Index Thailand juga naik 0,10% ke 1.266,11. Reydi menambahkan bahwa, “Indonesia berisiko tinggi kehilangan kepercayaan investor asing yang telah terbangun kokoh berkat kredibilitas fiskal yang selama ini dijaga.”
Tekanan pada aliran modal asing ini, menurut Reydi, diperkirakan akan terus berlanjut tanpa batas waktu yang jelas. Dalam skenario ini, saham-saham bank diproyeksikan menjadi sektor paling rentan. “Jika investor asing terus menarik dananya, likuiditas akan menyusut, menyebabkan koreksi pada harga saham dan menurunkan valuasi mereka. Sektor-sektor yang sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga, seperti perbankan, akan merasakan dampak paling signifikan,” jelas Reydi.
Prediksi tersebut terbukti tepat. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa pada penutupan perdagangan Senin (8/9/2025), empat dari lima saham yang menempati daftar top laggards indeks komposit didominasi oleh saham-saham bank. BBCA memimpin daftar ini dengan penurunan 3,75%, diikuti BMRI yang terkoreksi 4,06% di posisi kedua, BBRI yang turun 2,50% di urutan ketiga, dan BBNI melengkapi di posisi kelima dengan pelemahan 4,35%. Ini menunjukkan kerentanan akut sektor perbankan terhadap sentimen negatif pasar.
Aksi jual saham-saham bank tersebut juga diiringi dengan tekanan net sell asing yang signifikan. Saham BBCA mencatatkan net sell sebesar Rp1,25 triliun dalam satu hari perdagangan, menambah total net sell asing secara year-to-date menjadi Rp24,55 triliun. Sementara itu, BMRI membukukan net sell asing sebesar Rp347,21 miliar, sehingga total net sell sejak awal tahun mencapai Rp13,41 triliun. Adapun BBNI juga mengalami net sell asing sebesar Rp33,57 miliar, menjadikan total net sell YTD sebesar Rp3,44 triliun.
Menariknya, di tengah derasnya arus jual, BBRI justru mencatat net buy asing sebesar Rp73,55 miliar pada hari perdagangan tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa secara year-to-date, saham emiten Himbara ini masih membukukan net sell asing yang cukup besar, mencapai Rp629,96 miliar. Hal ini menunjukkan dinamika kompleks di balik pergerakan saham individu dalam kondisi pasar yang bergejolak.
Disclaimer: Berita ini semata-mata bersifat informatif dan tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual instrumen investasi. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab dan pertimbangan pribadi pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi yang diambil.
Ringkasan
Aliran modal asing keluar dari pasar saham Indonesia diperkirakan meningkat seiring dengan melonjaknya persepsi risiko keuangan, yang tercermin dari kenaikan credit default swap (CDS) dan yield Surat Utang Negara (SUN). Pengamat pasar modal berpendapat bahwa peningkatan risiko ini merupakan respons terhadap isu reshuffle Sri Mulyani, yang membuat investor mengalihkan portofolio ke negara dengan stabilitas fiskal yang lebih terjamin.
IHSG mengalami penurunan tajam dan net sell asing meningkat signifikan, terutama pada saham-saham perbankan seperti BBCA, BMRI, dan BBNI yang menjadi top laggards. Kondisi ini kontras dengan penguatan pasar saham emerging market lainnya, mengindikasikan potensi hilangnya kepercayaan investor asing terhadap Indonesia akibat kredibilitas fiskal yang terganggu.