Pasar keuangan Amerika Serikat kini memperkirakan peluang bank sentral Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas suku bunga acuan pada September mendatang mencapai angka signifikan 94,2%. Ekspektasi tinggi ini muncul setelah data inflasi konsumen (CPI) Juli menunjukkan hasil yang melampaui perkiraan, meskipun inflasi inti masih mencatat kenaikan.
Kelsey Berro, seorang Fixed Income Portfolio Manager di JPMorgan Asset Management, mengungkapkan bahwa kondisi makroekonomi saat ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan tahun lalu ketika The Fed melakukan pemangkasan agresif. Namun, Berro menambahkan bahwa ada beberapa faktor fundamental yang membedakan situasi saat ini, yang membuat bank sentral masih menahan diri untuk mengambil keputusan serupa. Faktor-faktor krusial tersebut, sebagaimana diulas oleh Yahoo Finance, meliputi:
1. Data Tenaga Kerja Menjadi Faktor Kunci
Berro menjelaskan, perlambatan pertumbuhan tenaga kerja menjadi salah satu alasan utama mengapa The Fed diperkirakan akan segera menurunkan suku bunga. Dalam tiga bulan terakhir, rata-rata pertumbuhan payrolls hanya mencapai 35.000, sementara rata-rata enam bulan berada di 80.000. Angka ini jelas jauh lebih lemah dibandingkan periode sebelumnya.
“Tahun lalu, dengan kondisi pasar tenaga kerja yang serupa, The Fed menurunkan suku bunga hingga 100 basis poin. Jika dilihat dari data saat ini, seharusnya bank sentral kembali melakukan hal yang sama,” ungkap Berro dalam wawancara dengan Yahoo Finance. Meski demikian, perbedaan signifikan terlihat pada tingkat pengangguran. Saat ini, tingkat jobless rate berada di kisaran 4,2 persen, tidak jauh berbeda dari tahun lalu, namun trennya tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kondisi ini membuat Ketua The Fed Jerome Powell cenderung lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusannya.
2. Posisi Suku Bunga Sudah Lebih Rendah
Alasan lain mengapa The Fed masih menahan diri adalah posisi suku bunga acuannya saat ini yang sudah berada pada level yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, suku bunga sempat berada di level 5,375 persen, namun kemudian dipangkas hingga ke 4,375 persen pada tahun ini.
“Dengan posisi yang sudah lebih longgar, bank sentral memiliki ruang yang lebih sedikit untuk melakukan pemangkasan dibandingkan tahun lalu. Ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter saat ini tidak seketat sebelumnya,” papar Berro. Kondisi ini membuat skenario pemangkasan 50 basis poin dalam satu kali rapat dianggap tidak realistis. Pasar pun kini lebih mematok ekspektasi pada pemangkasan bertahap sebesar 25 basis poin.
3. Inflasi Masih Jadi Pertimbangan Utama
Meskipun data CPI Juli menunjukkan perbaikan, inflasi inti tetap mencatat kenaikan dan menimbulkan kekhawatiran. Menurut Berro, tekanan harga yang bersumber dari potensi tarif baru serta beban konsumsi masyarakat masih menjadi variabel yang diawasi ketat oleh The Fed.
“Dalam jangka pendek, belum banyak kemajuan tambahan menuju target inflasi 2 persen. Itulah sebabnya langkah besar seperti pemangkasan 50 basis poin tidak masuk hitungan. Namun, risiko perlambatan ekonomi membuat bank sentral tetap sensitif terhadap kebutuhan stimulus,” jelasnya. Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, pasar menilai pemangkasan 25 basis poin pada September menjadi skenario paling masuk akal dan dinantikan.
Ekspektasi pasar yang kuat bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga pada bulan depan mengirimkan sinyal positif bagi para investor. Perlambatan tenaga kerja, posisi suku bunga yang sudah lebih rendah, serta tekanan inflasi yang masih perlu diwaspadai menjadi faktor utama yang diperhitungkan oleh bank sentral dan pelaku pasar.
Bagi pelaku pasar global, keputusan The Fed ini akan menjadi penentu arah ekonomi hingga akhir tahun ini. Jika pemangkasan benar-benar terjadi, stimulus moneter yang diberikan diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus memberikan ruang gerak yang lebih lega bagi sektor riil dan pasar modal.