Shoesmart.co.id Pasar keuangan global kembali menghadapi gejolak, dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran terhadap stabilitas sektor perbankan di Amerika Serikat (AS). Situasi ini secara signifikan menyebar menjadi sentimen negatif, menciptakan tekanan di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Analis pasar modal, Hans Kwee, pada Minggu (19/10), menyoroti bahwa “Kasus perbankan regional di AS menimbulkan kekhawatiran jangan-jangan ada banyak kasus kredit macet yang sama. Kekhawatiran ini menyebar menyebabkan tekanan pada pasar keuangan Asia, termasuk ke Indonesia.” Pandangan ini menggarisbawahi potensi risiko domino yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi regional.
Lebih lanjut, ketidakpastian politik di dalam negeri AS memperburuk sentimen pasar. Penutupan pemerintahan AS selama lebih dari dua pekan menghambat rilis data ekonomi resmi, membuat investor kesulitan dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan. Kondisi ini secara kolektif meningkatkan volatilitas dan memicu kehati-hatian di kalangan pelaku pasar.
Di tengah ketidakpastian tersebut, ekspektasi terhadap pemotongan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed) semakin menguat. Pertemuan pada 29-30 Oktober 2025 diproyeksikan akan membawa keputusan penting, bahkan terbuka kemungkinan pelonggaran lanjutan pada Federal Open Market Committee (FOMC) Desember 2025 mendatang, memberikan sedikit harapan di tengah tekanan pasar.
Ketegangan Geopolitik Masih jadi Sentimen Negatif
Selain isu perbankan dan politik domestik AS, Hans Kwee juga menekankan bahwa perang dagang antara AS dan Tiongkok tetap menjadi perhatian utama. Kebijakan Tiongkok yang membatasi ekspor mineral tanah jarang, beriringan dengan ancaman tarif 100 persen dari Presiden AS Donald Trump, memunculkan spekulasi mengenai strategi negosiasi. Hal ini bisa saja mengarah pada pemisahan ekonomi yang lebih dalam antara dua negara adidaya tersebut.
Pasar Saham Dibayangi Sentimen Shutdown AS dan Ancaman Trump Kenakan Tarif Impor 100 Persen ke Tiongkok
Dosen Magister Fakultas Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya itu menyatakan, “Langkah Tiongkok ini menimbulkan pertanyaan apakah ini hanya strategi negosiasi atau sinyal menuju pemisahan ekonomi yang lebih dalam.” Komentar ini mencerminkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang pada rantai pasok global dan stabilitas perdagangan internasional.
Di sisi lain, terdapat secercah sentimen positif dari pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Trump yang membahas konflik Ukraina. Harapan perdamaian di kawasan Eropa menguat, berpotensi mendorong harga minyak global turun dan meringankan tekanan inflasi secara global.
Asing Tekan Pasar Domestik, IHSG Diprediksi Melemah
Dari kancah domestik, tekanan jual oleh investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar saham masih terus berlanjut. Sementara itu, pelaku pasar tengah menantikan keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan diumumkan pekan ini. Konsensus pasar memperkirakan bank sentral akan mempertahankan suku bunga acuan di level 4,75 persen, mencerminkan sikap kehati-hatian di tengah dinamika global.
“Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan bergerak cenderung melemah, dengan level support di kisaran 7.854 hingga 7.547, dan resistance pada level 8.148 hingga 8.288,” ungkap Hans Kwee, memberikan gambaran proyeksi pergerakan pasar.
Kritik Menkeu Purbaya soal Penempatan Dividen Danantara di SBN Disanggah Analis Apindo, Begini Katanya
Ia mengimbau agar pelaku pasar sebaiknya tetap berhati-hati dalam menghadapi volatilitas yang tinggi. Fokus terhadap rilis data domestik dan arah kebijakan moneter global menjadi kunci utama dalam menyusun strategi investasi ke depan yang adaptif dan terukur.
Kinerja pasar saham Indonesia selama sepekan terakhir memang menunjukkan tekanan signifikan. IHSG ditutup melemah 4,14 persen ke level 7.915,656 pada periode perdagangan 13-17 Oktober 2025, turun dari posisi 8.257,859 di pekan sebelumnya.
Penurunan IHSG ini turut diiringi oleh pelemahan sejumlah indikator perdagangan lainnya. Rata-rata nilai transaksi harian tercatat turun 2,44 persen menjadi Rp 27,46 triliun, dari sebelumnya Rp 28,15 triliun. Kapitalisasi pasar juga terkoreksi tajam.
“Kapitalisasi pasar juga terkoreksi 5,23 persen menjadi Rp 14.746 triliun, dibanding Rp 15.560 triliun pada pekan sebelumnya,” ujar Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), Kautsar Primadi Nurahmad, menyoroti dampak koreksi pasar.
Rata-rata frekuensi transaksi harian tercatat sebesar 2,71 juta kali, turun 7,37 persen dibanding pekan lalu yang mencapai 2,93 juta kali. Penurunan yang lebih dalam terjadi pada volume transaksi harian, merosot 10,33 persen menjadi 32,95 miliar lembar saham, dari 42,32 miliar lembar pada pekan sebelumnya.
Meski pada perdagangan terakhir investor asing mencatatkan beli bersih (net buy) sebesar Rp3,03 triliun, secara kumulatif sepanjang tahun berjalan 2025, investor asing masih mencatatkan jual bersih (net sell) senilai Rp 51,55 triliun. Ini menunjukkan bahwa tekanan jual dari investor asing masih dominan dalam jangka panjang.
Penutupan IHSG Sepekan Terakhir
- 13 Oktober: 8.227,20
- 14 Oktober: 8.066,52
- 15 Oktober: 8.051,18
- 16 Oktober: 8.124,76
- 17 Oktober: 7.915,656
Saham Teraktif Perdagangan Jumat (17/10)
- BBCA: Rp 1.168.578.187.500
- BMRI: Rp 1.004.448.296.000
- PSAB: Rp 930.544.766.500
- CDIA: Rp 897.860.067.000
- WIFI: Rp 896.915.531.000
Sumber: BEI