JAKARTA — Sederet emiten BUMN Karya saat ini menghadapi tekanan likuiditas yang signifikan, tercermin dari catatan defisit kas operasi mereka. Situasi ini terjadi di tengah persiapan krusial untuk konsolidasi besar-besaran yang akan dipimpin oleh Danantara, entitas pengelola investasi negara.
Hingga semester I/2025, empat perusahaan konstruksi pelat merah yang menjadi sorotan utama adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA), PT Adhi Karya (Persero) Tbk. (ADHI), dan PT PP (Persero) Tbk. (PTPP). Keempatnya membukukan hasil negatif dari sisi kas bersih aktivitas operasi. Secara rinci, Waskita Karya membukukan kas operasi negatif sebesar Rp1,26 triliun, diikuti WIKA dengan minus Rp1,05 triliun. Sementara itu, ADHI yang sebelumnya surplus kini berbalik defisit Rp181,35 miliar, dan PTPP mencatat minus Rp305,66 miliar.
Senior Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, menyoroti kekhawatiran yang mendalam di kalangan investor terkait prospek saham BUMN Karya. Defisit kas operasi yang dialami seluruh emiten, termasuk ADHI yang menunjukkan pembalikan signifikan, memperkuat kekhawatiran pasar terhadap kemampuan sektor ini dalam menghasilkan arus kas yang sehat dan menjaga keberlanjutan operasional. Ditambah lagi, realisasi proyek baru yang masih lambat semakin memperkeruh kondisi.
Di tengah tantangan arus kas ini, emiten BUMN Karya tengah bersiap untuk langkah merger. PT Danantara Asset Management (Persero), sebagai bagian dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indonesia, direncanakan akan melanjutkan merger BUMN Karya pada semester II/2025. Langkah ini diyakini akan membentuk entitas yang lebih efisien dan terfokus pada bisnis inti sebagai kontraktor utama.
Selain itu, anak-anak usaha perusahaan konstruksi pelat merah yang tidak berkaitan langsung dengan inti bisnis akan turut dikonsolidasikan. Setelah merger tuntas, struktur BUMN Karya akan menyisakan tiga entitas induk utama. Dalam skema yang dirancang, ADHI akan menjadi salah satu induk, membawahi PT Nindya Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero), dengan fokus pada proyek rel kereta api dan konstruksi sektor khusus lainnya. Sementara itu, WSKT akan dilebur ke dalam PT Hutama Karya (Persero), yang akan fokus pada proyek jalan tol, non-tol, serta kawasan komersial residensial. Terakhir, WIKA akan dilebur ke dalam PTPP, dengan fokus pada pembangunan pelabuhan, bandara, perumahan, dan sektor rekayasa teknik.
Sukarno Alatas menambahkan bahwa langkah pemerintah melalui Danantara untuk menggodok skema merger dan konsolidasi ini berpotensi menjadi katalis positif dalam jangka menengah. Ini bisa terjadi jika mampu secara efektif memperkuat struktur keuangan, meningkatkan efisiensi operasional, dan pada akhirnya memulihkan kepercayaan investor terhadap potensi restrukturisasi fundamental.
Meski demikian, saat ini investor cenderung bersikap “wait and see” terhadap saham emiten BUMN Karya. Investor masih mencermati kejelasan implementasi dan dampak nyata merger terhadap masing-masing entitas perusahaan. Kiwoom Sekuritas Indonesia sendiri menargetkan harga saham ADHI pada level Rp300 per lembar. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (6/8/2025), harga saham ADHI masih berada di zona hijau, naik 23,58% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) ke level Rp262 per lembar. Demikian pula dengan PTPP, yang tetap di zona hijau, naik 19,05% ytd ke level Rp400 per lembar pada penutupan perdagangan di hari yang sama.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.