IHSG: Dana Asing Cabut? Peluang Capital Inflow Tetap Menganga!

Shoesmart.co.id JAKARTA. Pasar saham Indonesia masih mencatat arus keluar modal asing sepanjang Oktober 2025. Meskipun demikian, peluang kembalinya investasi asing ke bursa saham tetap terbuka lebar, menghadirkan harapan bagi para investor.

Pada perdagangan hari Selasa (28/10/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan sebesar 0,30%, menutup hari di level 8.092 di akhir sesi perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI).

Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan adanya *net outflow* dana asing sebesar Rp 1,37 triliun pada hari itu. Secara kumulatif, sejak awal tahun atau *year to date* (YTD), tercatat aliran dana asing keluar dari bursa mencapai Rp 47,49 triliun.

Chory Agung Ramdhani, Customer Engagement & Market Analyst Department Head BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS), mengamati bahwa pola *net sell* oleh investor asing masih mendominasi sepanjang tahun ini, terutama dipicu oleh faktor-faktor eksternal yang berpengaruh.

IHSG Melemah 0,30%, Simak Prospeknya untuk Perdagangan Rabu (29 Oktober)

Selain isu evaluasi MSCI yang berpotensi menekan harga beberapa saham dengan *free float* kecil, tekanan terhadap IHSG juga bersumber dari beberapa faktor lainnya.

Di antaranya adalah penguatan nilai tukar Dolar Amerika Serikat (AS), ekspektasi suku bunga The Fed yang akan bertahan tinggi lebih lama, ketidakpastian geopolitik yang terus berlanjut di Timur Tengah dan AS menjelang pemilu legislatif, serta tren kenaikan imbal hasil US Treasury.

Namun, perlu dicatat bahwa dalam beberapa minggu terakhir, terlihat adanya indikasi stabilisasi dalam aliran dana masuk dari investor asing.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya *net inflow* sebesar Rp 3,08 triliun di pasar saham berdasarkan data transaksi tanggal 20-23 Oktober 2025. Data RTI juga mencatat *net buy* asing sebesar Rp 4,03 triliun di pasar reguler dan Rp 4,91 triliun di seluruh pasar dalam sepekan terakhir.

Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun tekanan jual dari investor asing masih terasa, momentum pelemahan mulai terbatas, terutama pada saham-saham *big cap* yang saat ini dinilai memiliki valuasi yang menarik.

Sebagai contoh, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi incaran investor asing dengan nilai pembelian mencapai Rp 2,1 triliun dalam sepekan terakhir. PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) juga mencatatkan pembelian oleh asing masing-masing sebesar Rp 702,1 miliar dan Rp 606 miliar dalam periode yang sama.

Dengan demikian, di sisa tahun 2025, tren *net sell* diperkirakan masih akan berlanjut, namun dengan intensitas yang lebih rendah. “Asing cenderung melakukan *rebalancing*, bukan *outflow* besar-besaran seperti di paruh pertama tahun ini,” jelas Chory kepada Kontan, Selasa (28/10).

Maximilianus Nico Demus, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, berpendapat bahwa dengan kondisi yang ada hingga akhir tahun, potensi *capital inflow* asing ke pasar saham tetap sangat mungkin terjadi.

IHSG Terkoreksi 0,30% ke 8.092, Top Losers LQ45: UNVR, AMMN dan ASII, Selasa (28/10)

Ia mencontohkan, saat IHSG mengalami penurunan pada tanggal 27 Oktober lalu akibat pengumuman MSCI terkait perubahan metodologi perhitungan *free float*, *capital inflow* asing justru masih tercatat sebesar Rp 1,1 triliun.

“Untuk masalah MSCI, ceritanya akan berbeda lagi. Karena hal ini masih berupa wacana,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (28/10).

Sebagai informasi, Morgan Stanley Capital International (MSCI) tengah berencana untuk mengubah metodologi perhitungan *free float* untuk saham emiten di Indonesia.

MSCI mengumumkan bahwa mereka sedang meminta masukan dari para pelaku pasar terkait rencana penggunaan *Monthly Holding Composition Report* yang dipublikasikan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai referensi tambahan dalam menghitung *free float* saham emiten Indonesia.

Selama ini, emiten di Indonesia hanya melaporkan pemegang saham dengan kepemilikan lebih dari 5% kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).

Sementara itu, data KSEI melaporkan kepemilikan di bawah 5% dan memberikan klasifikasi pemegang saham, sehingga memberikan gambaran yang lebih rinci terkait pemegang saham dengan kepemilikan kurang dari 5%.

Penting untuk diingat bahwa wacana ini belum pasti diberlakukan dan masih menunggu masukan dari para pelaku pasar. MSCI berencana menerima masukan hingga 31 Desember 2025, dengan hasil konsultasi akan diumumkan sebelum 30 Januari 2026.

Didorong Sentimen Rilis Kinerja, Saham GOTO Menguat di Tengah Koreksi IHSG

“Meskipun investor khawatir, namun semuanya masih bisa terjadi pada akhir bulan Januari,” kata Nico.

Equity Analyst Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, menambahkan bahwa rencana evaluasi perhitungan *free float* MSCI berpotensi mendorong aksi *net sell* oleh investor asing.

Namun, ia menekankan bahwa kebijakan tersebut saat ini masih sebatas wacana. Oleh karena itu, fokus utama sebaiknya tetap tertuju pada perkembangan data riil dan sentimen pasar hingga akhir tahun.

“Salah satu faktor eksternal yang berpotensi menekan aliran dana asing keluar dari pasar Indonesia adalah ketidakpastian terkait arah kebijakan suku bunga The Fed,” ujarnya kepada Kontan, Selasa.

Apabila ekspektasi pemangkasan suku bunga tidak terealisasi, tekanan jual dari investor asing berpeluang meningkat.

“Selain itu, dinamika kebijakan Donald Trump yang cenderung tidak stabil dapat memperkuat pandangan *hawkish* terhadap kebijakan moneter AS,” kata Imam.

Prospek Tahun 2026

Chory memperkirakan bahwa *net sell* akan mereda atau bahkan berbalik menjadi *net buy* jika The Fed mulai memberikan sinyal penurunan suku bunga dan kondisi Rupiah stabil.

Kondisi ini akan mengurangi tekanan jual pada saham bank besar seperti BBCA dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Sektor perbankan pun diprediksi akan tetap menjadi incaran utama *net buy* asing karena fundamentalnya yang kuat.

IHSG Bergerak Liar di Awal Perdagangan Selasa (28/10), Dibayangi Merahnya Bursa Asia

Selain itu, sektor teknologi yang mulai mencatatkan profitabilitas juga akan dilirik oleh investor asing yang ingin berinvestasi di pasar saham Indonesia.

“Sektor konsumsi primer yang defensif dan sektor komoditas yang terdampak hilirisasi juga akan menarik perhatian karena potensi pertumbuhan jangka panjangnya,” ungkap Chory.

Menurut Chory, pada paruh pertama hingga pertengahan tahun 2026, *net buy* akan didorong oleh kepastian penurunan suku bunga The Fed dan stabilisasi ekonomi domestik.

“Sentimen positif akan berasal dari inflasi global yang mereda, The Fed yang mulai menurunkan suku bunga, dan valuasi saham Indonesia yang semakin kompetitif dibandingkan kawasan lain,” tuturnya.

Emiten Danantara juga berpotensi menyerap dana asing, terutama yang memiliki proyek strategis dan tata kelola yang kuat, seperti sektor perbankan besar, telekomunikasi, hingga konstruksi. Ketiga sektor ini dianggap sebagai representasi dari kebijakan pemerintah baru.

“Selain itu, emiten konglomerasi dari sektor *consumer* dan energi metal juga berpotensi menarik minat, karena profitabilitasnya stabil dan memiliki rencana ekspansi jangka panjang yang jelas,” paparnya.

Nico mengungkapkan tiga faktor utama yang dapat memicu kembalinya *net buy* asing, yaitu pemangkasan tingkat suku bunga The Fed pada bulan Oktober dan Desember, pemangkasan tingkat suku bunga BI di akhir tahun 2025, dan kesepakatan dagang antara AS dan China.

“Kuncinya ada pada tiga hal tersebut. Karena ketiganya akan menentukan apakah akan terjadi *capital inflow* atau tidak di masa depan,” ungkapnya.

Sektor-sektor yang berpotensi menarik dana asing antara lain sektor perbankan, *consumer*, industrial, energi, *basic materials*, dan properti.

Terlepas dari sektornya, emiten dengan fundamental yang kuat dan potensi valuasi yang menarik di masa depan akan menjadi pilihan utama para investor asing. Sehingga, asal usul emiten, apakah itu dari Danantara ataupun konglomerasi, tidak akan menjadi faktor penentu.

IHSG Turun 0,35% pada Sesi I Selasa (28/10): Saham UNVR, AMMN, ASII Jadi Top Losers

“Jadi semua akan kembali kepada kinerja emitennya. Emiten BUMN ataupun konglomerasi yang tidak menarik tidak akan dilirik oleh investor,” tuturnya.

Imam melihat bahwa memasuki tahun 2026, sektor perbankan diperkirakan akan menjadi salah satu sektor yang mengalami *turning point* dan kembali menarik aliran dana asing.

Hal ini didorong oleh sejumlah faktor positif, antara lain realisasi stimulus fiskal berskala besar dari pemerintah, perbaikan tren pertumbuhan kredit, serta valuasi saham perbankan yang masih tergolong menarik.

“Kombinasi faktor tersebut menjadikan sektor perbankan patut diperhatikan oleh investor pada tahun depan,” ujarnya.

Di antara emiten perbankan, BBCA dinilai menarik karena memiliki fundamental yang solid dengan tingkat profitabilitas yang tetap tangguh di tengah dinamika makroekonomi.

Imam pun merekomendasikan beli untuk BBCA dengan target harga Rp 10.400 per saham.

Ringkasan

Meskipun IHSG mencatat *net outflow* dana asing sebesar Rp 1,37 triliun pada 28 Oktober 2025 dan Rp 47,49 triliun sejak awal tahun, peluang *capital inflow* tetap terbuka lebar. Indikasi stabilisasi aliran dana masuk terlihat dalam beberapa minggu terakhir, dengan *net inflow* sebesar Rp 3,08 triliun di pasar saham berdasarkan data transaksi 20-23 Oktober 2025.

Analis memperkirakan tren *net sell* akan berlanjut dengan intensitas yang lebih rendah di sisa tahun 2025, dan *net buy* dapat terjadi jika The Fed menurunkan suku bunga dan Rupiah stabil. Sektor perbankan, teknologi, konsumsi primer, dan komoditas berpotensi menarik dana asing pada tahun 2026, terutama emiten dengan fundamental kuat dan potensi valuasi menarik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *