Harga Bitcoin (BTC) secara mengejutkan melesat hingga menyentuh level tertinggi dua pekan di US$118.710 pada Rabu (1/10/2025). Lonjakan signifikan ini terjadi setelah pemerintah federal Amerika Serikat (AS) secara resmi menghentikan sebagian besar operasionalnya akibat kebuntuan anggaran yang tak kunjung teratasi. Menurut data Coinmarketcap pada pukul 08.46 WIB, harga Bitcoin bahkan sempat berada di US$118.839, mencatat kenaikan impresif sebesar 3,86% dalam kurun waktu 24 jam terakhir.
Namun, euforia pasar kripto dibayangi oleh kehati-hatian investor. Pasalnya, penutupan pemerintahan serupa yang terjadi pada tahun 2018 silam justru memicu aksi jual besar-besaran di pasar kripto, menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya skenario serupa. Tanpa adanya kesepakatan anggaran, lembaga-lembaga federal di AS terpaksa mengaktifkan rencana darurat, yang berujung pada dirumahkannya ratusan ribu pegawai pemerintah, menambah ketidakpastian ekonomi.
Perhatian kini tertuju pada durasi shutdown ini, mengingat Senat dijadwalkan kembali menggelar pemungutan suara pada hari Rabu. Sementara itu, pemerintahan Presiden Donald Trump telah memperingatkan potensi pemutusan hubungan kerja massal jika kebuntuan anggaran tidak segera berakhir, sebuah ancaman yang semakin menambah kehati-hatian para pelaku pasar global.
Reaksi pasar obligasi dan emas menunjukkan adanya “flight to safety” di tengah ketidakpastian ini. Imbal hasil obligasi Treasury AS tenor 10 tahun tercatat turun, menandakan bahwa investor rela menerima imbal hasil lebih rendah demi keamanan aset pemerintah. Di sisi lain, emas menguat ke rekor baru US$3.895 per ons troi, menegaskan kembali posisinya sebagai aset lindung nilai tradisional yang dicari di kala krisis.
Pandangan Trader Pro atas Flash Crash Bitcoin ke US$112.600: Apa yang Berubah?
Bitcoin di Atas US$112.000, Investor Waspada Jelang Penutupan Bulan dan Kuartal
Bitcoin di Tengah Ketidakpastian
Pada pandangan awal, shutdown AS memang tampak memberikan dorongan jangka pendek bagi Bitcoin. Namun, ketahanan reli ini masih menjadi tanda tanya besar. Pasar saham AS sendiri relatif tenang, meskipun data ADP terbaru menunjukkan pelemahan ketenagakerjaan swasta yang signifikan, dengan hilangnya 32.000 payroll pada September, dan data Agustus yang direvisi menjadi rugi bersih 3.000 pekerjaan. Kondisi makroekonomi ini membayangi potensi pemulihan yang berkelanjutan.
Sejarah juga memberikan sinyal hati-hati yang patut diperhitungkan. Saat shutdown terjadi pada Desember 2018, Bitcoin justru mengalami penurunan sekitar 9%, merosot dari US$3.900 menjadi US$3.550 dalam rentang 35 hari. Pada periode itu, pasar kripto juga tengah berada dalam tren bearish yang lebih luas, dengan penurunan hingga 42% pada akhir November 2018. Selain itu, faktor regulasi turut menekan pasar; Financial Action Task Force (FATF) pada Oktober 2018 memperketat pedoman terkait aset virtual, termasuk exchange dan penyedia dompet kripto, yang memicu ekspektasi pengawasan lebih ketat.
Adopsi Bitcoin Global Masuki Fase ‘Tiba-tiba’: Apa Artinya?
ETF Bitcoin Mengalirkan Dukungan
Namun, kali ini situasinya sedikit berbeda. Pada Selasa (1/10), produk ETF Bitcoin spot mencatat arus masuk bersih senilai US$430 juta, sebuah indikasi kuat yang memperkuat citra BTC sebagai aset lindung nilai independen di mata investor institusional. Saat ini, ETF Bitcoin secara total mengelola hampir US$147 miliar aset, angka yang signifikan meskipun masih di bawah emas yang mencapai US$461 miliar melalui ETF dari total pasar US$26 triliun.
Dengan kondisi fundamental yang berbeda ini, shutdown AS berpotensi menguntungkan Bitcoin dalam 30 hari ke depan, meskipun pelemahan ekonomi jangka pendek masih membebani pasar tradisional. Lebih lanjut, permintaan korporasi terhadap Bitcoin sebagai aset cadangan juga diperkirakan menjadi faktor penopang momentum bullish yang kuat di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global.