Viral TikTok Penjarahan Sahroni: Algoritma Rahasia di Baliknya Terungkap!

Siaran langsung atau live TikTok menjadi sorotan utama menyusul insiden penggerudukan dan penjarahan rumah anggota DPR Ahmad Sahroni pada Sabtu (30/8) sore. Peristiwa ini secara tidak langsung memicu pertanyaan krusial: bagaimana sebenarnya algoritma TikTok bekerja, sehingga sebuah konten dapat menyebar luas dan menjadi viral di platform tersebut?

Potensi jangkauan audiens live TikTok memang sangat besar, terutama jika berhasil masuk ke laman For Your Page (FYP). Namun, detail mengenai mekanisme konten siaran langsung agar dapat menembus kategori FYP TikTok masih menjadi misteri. Pihak TikTok sendiri belum memberikan penjelasan resmi tentang hal ini, bahkan ketika Katadata.co.id berupaya mengonfirmasi, tidak ada tanggapan hingga berita ini diterbitkan, dan informasi di laman resminya pun tidak memerinci hal tersebut.

Meski demikian, beberapa sumber mencoba menguak misteri ini. Melansir laman Delivered Social, TikTok dikabarkan memprioritaskan konten live yang mampu menghasilkan tingkat keterlibatan tinggi dalam beberapa menit pertama penayangannya. Artinya, semakin banyak pengguna yang bergabung, memberi komentar, dan berinteraksi secara aktif sejak awal siaran, semakin besar pula peluang konten tersebut untuk direkomendasikan dan muncul di halaman FYP.

Konteks ini menjadi semakin relevan mengingat masifnya penggunaan TikTok di Indonesia. Data dari We Are Social dan Meltwater menunjukkan bahwa jumlah pengguna TikTok Indonesia telah mencapai 194,37 juta per Juli, sebuah peningkatan signifikan dibandingkan data tahun 2023. Angka ini menegaskan betapa besar pengaruh platform ini dalam menyebarkan informasi dan tren di tengah masyarakat.

Lebih jauh mengenai cara kerja algoritma TikTok, penulis John Seabrook dalam Newyorker menjelaskan bahwa sistem ini sangat bergantung pada interaksi pengguna, seperti ‘suka’, komentar, dan durasi waktu menonton video. Data respons ini, yang dipanen dari laman ‘Untuk Anda’, menjadi input utama bagi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) di balik platform tersebut. Setiap tindakan penonton memberikan sinyal kepada teknologi ini untuk mengukur tingkat keterlibatan, membentuk pola preferensi yang kompleks.

Dengan mengidentifikasi pola-pola dalam volume data yang sangat besar, AI dan machine learning mampu membuat prediksi dan rekomendasi konten, baik berupa video maupun siaran live. Kompleksitas perhitungan dan skala data yang diserap inilah yang membuat cara kerja AI canggih seperti TikTok sulit untuk dipahami secara menyeluruh oleh awam, namun dasar interaksinya cukup jelas.

Meskipun TikTok belum memberikan detail yang transparan, beberapa teori telah muncul untuk menjelaskan fenomena viral. Salah satu yang paling dikenal adalah “teori batch“. Teori ini menyatakan bahwa algoritma TikTok akan menampilkan konten baru kepada sekelompok kecil pengguna di berbagai belahan dunia. Apabila video tersebut berhasil menarik perhatian signifikan dari kelompok awal ini, aplikasi kemudian akan memperluas jangkauannya dengan mengirimkan video tersebut kepada kelompok pengguna yang lebih besar, dan seterusnya dalam skala yang terus meningkat.

Dalam kerangka teori batch ini, terdapat perdebatan mengenai metrik utama yang menentukan apakah sebuah video akan mendapatkan perhatian. Beberapa ahli berpendapat bahwa rasio suka terhadap tayangan (likes-to-views ratio) adalah indikator kunci, sementara yang lain meyakini bahwa lamanya waktu penonton bertahan hingga akhir video (watch time completion) memegang peranan lebih penting. Kemungkinan besar, kombinasi dari semua faktor tersebutlah yang saling berperan, sebuah aspek yang telah dikonfirmasi oleh TikTok di situs web resmi mereka, meskipun tanpa perincian yang jelas dan mendalam.

Pemahaman tentang algoritma TikTok juga mendapat pencerahan dari film dokumenter ‘The Social Dilemma’. Tristan Harris, mantan Design Ethicist di Google, menjelaskan bahwa algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, bukan untuk menyajikan informasi yang benar atau bermanfaat. Keterlibatan di sini mencakup segala bentuk interaksi, mulai dari klik saat membuka konten, pemberian ‘suka’, komentar, hingga durasi waktu menonton. Semakin lama seseorang terpaku pada suatu konten atau berada di platform media sosial, semakin besar peluang iklan untuk masuk dan menyasar perhatian pemirsa tersebut. Inilah mengapa, menurut Harris, pengguna dapat menikmati platform secara gratis, sebab perhatian mereka terhadap konten-konten di dalamnya adalah “produk” yang kemudian dijual kepada para pengiklan.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Guillaume Chaslot, mantan engineer YouTube, yang menjelaskan bahwa algoritma YouTube dirancang untuk memaksimalkan waktu tonton pengguna. Ia mencatat bahwa konten yang cenderung lebih ekstrem, seperti teori konspirasi, berita sensasional, atau informasi provokatif, seringkali mampu menahan pemirsa untuk bertahan lebih lama. Akibatnya, jenis konten semacam itu cenderung lebih sering direkomendasikan oleh algoritma, menunjukkan bahwa daya tarik emosional seringkali mengalahkan nilai informatif.

Kembali ke kasus di Indonesia, TikTok sempat mengambil langkah ekstrem dengan menonaktifkan fitur Live pada Sabtu (30/8) malam, beberapa saat setelah insiden penjarahan rumah Ahmad Sahroni. Fitur ini baru kembali diaktifkan pada Selasa (2/9), menandakan adanya pertimbangan serius dari pihak platform. TikTok menyatakan akan mempersiapkan upaya pengamanan tambahan ke depan, meski belum ada penjelasan detail mengenai bentuk pengamanan yang dimaksud. “Kami terus memantau situasi yang ada, dan memprioritaskan upaya dalam menyediakan platform yang aman dan beradab bagi para pengguna untuk berekspresi,” demikian keterangan resmi dari TikTok, menegaskan komitmen mereka terhadap lingkungan daring yang lebih aman.

Ringkasan

Artikel ini membahas tentang algoritma TikTok dan bagaimana konten bisa menjadi viral, merespons insiden penjarahan rumah anggota DPR Ahmad Sahroni yang disiarkan langsung di TikTok. Meskipun detail algoritma TikTok untuk FYP masih misterius dan belum dijelaskan secara resmi, konten dengan tingkat keterlibatan tinggi di menit-menit awal penayangan memiliki peluang lebih besar untuk direkomendasikan. Data dari We Are Social dan Meltwater menunjukkan bahwa jumlah pengguna TikTok di Indonesia sangat besar, mencapai 194,37 juta per Juli.

Algoritma TikTok bergantung pada interaksi pengguna seperti like, komentar, dan durasi menonton untuk memprediksi dan merekomendasikan konten melalui AI dan machine learning. Teori batch menyatakan bahwa video ditampilkan ke sekelompok kecil pengguna, dan jika berhasil menarik perhatian, jangkauannya akan diperluas. Dokumenter ‘The Social Dilemma’ dan mantan engineer YouTube menjelaskan bahwa algoritma memaksimalkan keterlibatan pengguna, bahkan dengan konten ekstrem, untuk meningkatkan waktu tonton dan potensi iklan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *