Saat IHSG Melesat, Rupiah Masih Terperangkap di Zona Merah

Shoesmart.co.id  JAKARTA. Dinamika pasar keuangan domestik saat ini menampilkan gambaran yang kontras. Ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penguatan signifikan dan menorehkan rekor tertinggi, laju rupiah justru tersendat, terperangkap dalam zona merah dan rentan terhadap koreksi lebih lanjut.

Situasi ini semakin jelas terlihat pada perdagangan Rabu (24/9/2025), di mana IHSG berhasil mempertahankan tren kenaikan selama tiga hari berturut-turut, menembus level 8.126,55 dan kembali mengukuhkan rekor tertinggi baru. Namun, pergerakan rupiah jauh berbeda; di pasar spot, mata uang Garuda hanya mampu menguat tipis 0,02% menjadi Rp 16.685 per dolar AS. Bahkan, data Jisdor Bank Indonesia (BI) menunjukkan pelemahan ke Rp 16.680 per dolar AS, dan di pasar offshore, rupiah kian terpuruk hingga menyentuh Rp 16.704.

IHSG Turun 0,06% ke 8.003 Sesi I, JPFA, ARTO dan AKRA Top Losers LQ45, Jumat (19/9)

Tekanan pada rupiah juga diperparah oleh lonjakan premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia, instrumen krusial yang menjadi barometer risiko investasi. Premi ini mengalami peningkatan signifikan, melonjak menjadi 82,17 basis poin (bps) dari posisi 70,17 bps pada 18 September 2025. Kenaikan ini mengindikasikan persepsi risiko yang memburuk terhadap aset-aset Indonesia.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa pelebaran CDS secara langsung meningkatkan biaya lindung nilai dan premi risiko. Kondisi ini secara otomatis melemahkan daya tarik investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) maupun obligasi korporasi domestik. “Alhasil, rupiah terus tertekan,” tegas Josua, menyoroti dampak spiral negatif tersebut.

Ada Rilis Data M2 dan IPO EMAS, Simak Proyeksi IHSG pada Perdagangan Selasa (23/9)

Sebagai bukti nyata sentimen negatif ini, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya arus keluar dana asing yang substansial. Sepanjang periode 15–18 September, investor asing menarik total Rp 5,49 triliun dari SBN dan Rp 2,79 triliun dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), semakin memperlebar jurang tekanan pada mata uang domestik.

Dampak Kebijakan Agresif

Menganalisis lebih dalam, seorang treasury bank Eropa di Singapura berpendapat bahwa pelemahan rupiah tidak terlepas dari kebijakan fiskal pemerintah yang dianggap terlalu agresif. “Fiskal agresif, tapi efeknya tidak prudent,” ungkapnya kepada KONTAN. Ia menambahkan, langkah pemerintah mengucurkan dana melalui BI justru ironisnya melemahkan kapasitas intervensi rupiah. Lebih lanjut, pergeseran strategi spekulan dari posisi jual dolar ke beli dolar semakin memperparah tekanan yang mendera rupiah.

Senada, Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menyoroti bahwa arus keluar dana asing juga dipicu oleh aksi ambil untung para investor. Hal ini terjadi seiring dengan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia yang dirasa semakin kurang kompetitif. Terlebih, selisih yield dengan obligasi AS tenor 10 tahun sempat anjlok di bawah 220 bps, mengurangi daya tarik relatif investasi di Indonesia.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengamati adanya kecenderungan investor global untuk mengalihkan portofolio mereka ke saham teknologi dan komoditas logam mulia. Pergeseran strategis ini, menurutnya, diakibatkan oleh tren penurunan suku bunga di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia, yang menyebabkan imbal hasil instrumen investasi di pasar ini menjadi kurang kompetitif.

IHSG Dibuka Terkoreksi ke 7.996, ARTO, JPFA dan BBNI Top Losers LQ45, Jumat (19/9)

Di sisi domestik, Ekonom Ferry Latuhihin secara tegas menilai bahwa pelemahan rupiah justru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik, terutama kebijakan BI yang konsisten menurunkan suku bunga. “Ini jadi sinyal bahwa kondisi ekonomi kita tidak baik-baik saja,” kritik Ferry, menggarisbawahi potensi bahaya dari kebijakan tersebut.

Lemahnya fundamental ekonomi Indonesia juga kian kentara dari data-data makro. Penerimaan PPN pada semester I-2025 tercatat anjlok hampir 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Akibatnya, shortfall fiskal telah mencapai Rp 30 triliun dan diproyeksikan membengkak hingga Rp 112 triliun pada akhir tahun. Selain itu, pertumbuhan kredit bank juga merosot tajam menjadi 7%, jauh di bawah performa dua digit yang dicatatkan sebelumnya.

Ferry juga memberikan peringatan keras bahwa kebijakan fiskal yang ultra-populis berpotensi mengikis daya tahan APBN secara signifikan. Untuk tahun depan, pemerintah diperkirakan harus menerbitkan surat utang baru senilai fantastis Rp 1.400–Rp 1.500 triliun, semata-mata untuk melunasi cicilan utang dan menambal defisit anggaran. Kondisi fiskal yang rentan ini, lanjutnya, sangat berisiko memicu keluarnya dana asing secara besar-besaran. Ferry Latuhihin bahkan membuat proyeksi yang mengkhawatirkan: rupiah berpotensi ambruk hingga mencapai Rp 18.000 per dolar AS di akhir tahun. “Jika itu terjadi, spekulasi hedge fund dapat memicu serangan bertubi-tubi yang akan semakin memperlemah rupiah,” pungkasnya dengan nada serius.

IHSG Masih Bisa Tertahan Depresiasi Rupiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *