Kinerja Adhi Karya (ADHI) Diproyeksikan Melambat, Ini Rekomendasi Analis

Shoesmart.co.id JAKARTA. PT Adhi Karya Tbk (ADHI) tengah berjuang menghadapi serangkaian tantangan berat yang tercermin dari anjloknya kinerja keuangan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025. Perusahaan konstruksi pelat merah ini diproyeksikan masih akan berhadapan dengan berbagai hambatan signifikan di masa mendatang.

Kondisi keuangan ADHI menunjukkan penurunan drastis. Laba bersih perusahaan anjlok 93,62% secara tahunan (YoY) menjadi hanya Rp 4,42 miliar per kuartal III 2025. Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana ADHI masih mencatatkan laba sebesar Rp 69,32 miliar.

Penurunan laba ini tidak terlepas dari koreksi pendapatan usaha ADHI yang cukup dalam. Pendapatan perusahaan merosot 38,28% YoY menjadi Rp 5,65 triliun pada akhir September 2025, jauh di bawah pendapatan Rp 9,16 triliun yang tercatat pada akhir September 2024.

Sekretaris Perusahaan ADHI, Rozi Sparta, menjelaskan bahwa hingga kuartal III 2025, kontributor utama pendapatan ADHI masih didominasi oleh lini bisnis teknik dan konstruksi (engineering & construction). Tiga proyek infrastruktur besar yang menjadi tulang punggung pendapatan ADHI meliputi Proyek Jalan Tol Jakarta Cikampek Selatan, Jalan Tol Solo-Yogyakarta-Kulon Progo, dan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen.

Di samping itu, neraca keuangan ADHI juga menunjukkan tekanan. Pos bagian laba ventura bersama menyusut dari Rp 568,73 miliar pada kuartal III 2024 menjadi Rp 321,64 miliar pada kuartal III 2025. Lebih lanjut, ADHI membukukan rugi entitas asosiasi sebesar Rp 10,81 miliar per akhir September 2025, padahal di periode yang sama tahun lalu pos ini masih mencatatkan laba Rp 7,89 miliar. Kas dan setara kas akhir periode juga tergerus, dari Rp 1,90 triliun menjadi Rp 1,46 triliun.

Raihan kontrak baru ADHI turut mengalami pukulan telak. Per kuartal III 2025, ADHI hanya mencatatkan nilai kontrak baru Rp 6,5 triliun, anjlok signifikan dari Rp 14,2 triliun di periode yang sama tahun 2024. Penurunan ini mengindikasikan terbatasnya proyek baru yang berhasil diamankan perusahaan.

Fundamental Analyst BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menganalisis bahwa kemerosotan kinerja ADHI pada kuartal III 2025 utamanya disebabkan oleh dua faktor: penurunan volume proyek dan tekanan non-operasional akibat pembentukan cadangan yang tinggi. Menurutnya, refocusing anggaran pemerintah yang mengalihkan dana dari proyek infrastruktur ke sektor prioritas lain telah menekan raihan nilai kontrak baru ADHI. “Laba bersih turun jauh lebih tajam karena adanya beban cadangan dan penurunan nilai proyek tertentu yang tercatat dalam laporan keuangan. Artinya, pelemahan laba tidak hanya disebabkan kinerja operasional, tetapi juga efek akuntansi dari pembentukan provisi yang bersifat kehati-hatian,” jelasnya.

Abida memperkirakan tekanan kinerja ini masih akan menghantui ADHI hingga akhir 2025, mengingat proses restrukturisasi keuangan dan penyerapan proyek pemerintah yang belum kembali normal. Risiko utama terletak pada terbatasnya perolehan kontrak baru, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan pendapatan hingga semester I 2026. Namun, ia menekankan bahwa tekanan ini bersifat sementara. Ruang pemulihan kinerja ADHI masih terbuka lebar bila restrukturisasi dan realisasi proyek baru mulai berjalan lebih baik pada 2026, terutama dari proyek strategis nasional non-IKN serta peluang di sektor energi atau konstruksi industri.

Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, sependapat bahwa penurunan kinerja ADHI disebabkan oleh perlambatan realisasi proyek dan keterbatasan likuiditas, yang secara langsung menekan pendapatan dan laba bersih. “Selain itu, raihan kontrak baru yang belum optimal juga menjadi faktor utama yang menekan arus kas dan margin laba,” ujarnya. Tantangan ADHI juga diperparah dengan polemik tiang monorel Jakarta yang terus menciptakan sentimen negatif terhadap efisiensi proyek. Namun, Ekky melihat rencana merger BUMN Karya berpotensi menjadi katalis positif jangka menengah karena dapat meningkatkan efisiensi, memperkuat struktur permodalan, dan memperbaiki daya saing perusahaan.

Prospek dan Rekomendasi Saham ADHI

Menatap ke depan, Rozi Sparta dari ADHI menyatakan bahwa perseroan melihat prospek industri konstruksi pada tahun 2026 cukup positif. Optimisme ini didukung oleh keberlanjutan program pembangunan infrastruktur pemerintah baru yang diharapkan menjadi penggerak utama pertumbuhan sektor ini. “Perseroan fokus dengan memperkuat fundamental bisnis dan penguatan pada kompetensi inti sebagai kontraktor,” tegasnya.

Abida memperkirakan bahwa pada akhir 2025 nanti, laba bersih ADHI bisa lebih rendah atau bahkan negatif akibat efek penuh dari pencadangan dan potensi kerugian penurunan nilai (impairment). Risiko tambahan datang dari polemik tiang monorel Jakarta, di mana ketidakpastian penyelesaian aset ini bisa memengaruhi kondisi keuangan perusahaan. “Sebaliknya, apabila ada kejelasan penyelesaian, baik melalui kompensasi maupun monetisasi aset, hal tersebut akan menjadi katalis positif yang memperbaiki neraca dan menurunkan risiko penurunan nilai,” ungkapnya.

Pada tahun 2026, ADHI berpotensi mengalami pemulihan seiring dengan selesainya proses restrukturisasi dan peningkatan realisasi proyek strategis lainnya, termasuk proyek energi dan infrastruktur transportasi. Rencana pembentukan holding BUMN Karya juga menjadi faktor penting yang berpotensi meningkatkan efisiensi dan memperkuat akses pendanaan, meskipun prosesnya masih dalam tahap pembahasan di Kementerian BUMN. Sentimen positif mencakup peluang kontrak EPC di proyek energi dan konstruksi, serta potensi efisiensi dari konsolidasi BUMN Karya. “Sementara itu, sentimen negatif meliputi risiko keterlambatan proyek, ketidakpastian penyelesaian aset monorel, serta potensi penundaan restrukturisasi keuangan,” tambahnya.

Secara valuasi, saham ADHI saat ini tergolong menarik dengan rasio price to book value (PBV) sekitar 0,25x per kuartal III 2025. Level ini jauh di bawah rata-rata sektor konstruksi BUMN yang berkisar 0,6–0,8x. Valuasi yang dalam ini mengindikasikan bahwa pasar telah memperhitungkan sebagian besar risiko terkait penurunan laba dan restrukturisasi. “Dengan demikian, potensi penurunan lebih lanjut tampak terbatas, sementara ruang kenaikan (re-rating) akan terbuka kembali bila proses penyehatan berjalan sesuai rencana,” papar Abida. Oleh karena itu, Abida merekomendasikan beli untuk saham ADHI dengan target harga 12 bulan di kisaran Rp 460 per saham. Dengan asumsi normalisasi kinerja dan restrukturisasi selesai pada 2026, valuasi wajar jangka panjang ADHI berdasarkan PBV 0,45x untuk rata-rata 5 tahun terhadap book value per share (BVPS) Rp1.153 per saham menghasilkan nilai wajar sekitar Rp519 per saham.

Ekky Topan juga berpendapat bahwa kinerja ADHI di tahun 2026 dapat mulai pulih jika percepatan proyek infrastruktur berjalan dan dukungan pembiayaan dari pemerintah serta investor strategis terealisasi. “Nilai kontrak baru bisa naik bila proyek IKN, jalan tol, dan proyek air bersih kembali dipercepat,” katanya. Dari sisi valuasi, meskipun saham ADHI sudah cukup terdiskon, risikonya masih tergolong tinggi. Investor disarankan sebaiknya wait and see atau akumulasi bertahap sambil menunggu kejelasan restrukturisasi dan hasil merger BUMN Karya. Ekky merekomendasikan hold untuk ADHI dengan potensi rebound terbatas. Jika perbaikan fundamental dan proyek berjalan sesuai rencana, target harga jangka menengah berada di kisaran Rp340 – Rp 350 per saham.

Sementara itu, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana melihat pergerakan saham ADHI berada di level support Rp 268 per saham dan resistance Rp 278 per saham. Herditya merekomendasikan buy on weakness untuk ADHI dengan target harga Rp 290 – Rp 300 per saham.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *