Shoesmart.co.id JAKARTA. Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat di zona hijau, tekanan jual dari investor asing belum juga mereda pasca pergantian menteri keuangan. Situasi paradoks ini terus membayangi pasar modal Indonesia, di mana dana asing masih gencar keluar.
Pada penutupan perdagangan Rabu (10/9/2025), IHSG ditutup menguat impresif 0,92%, mencapai posisi 7.699. Sepanjang hari, indeks komposit ini konsisten bergerak di teritori positif, bahkan sempat menyentuh level 7.726,37. Namun, di balik penguatan tersebut, investor asing justru tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) yang masif, mencapai Rp 1,30 triliun di seluruh pasar. Akibatnya, secara akumulatif sejak awal tahun, total net sell investor asing telah membengkak hingga Rp 60,22 triliun.
Secara spesifik, pada perdagangan Rabu (10/9/2025), saham-saham perbankan dan pertambangan menjadi sasaran utama aksi jual asing. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mencatat net sell terbesar senilai Rp 251,71 miliar, diikuti oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan Rp 134,16 miliar. Tekanan jual signifikan juga membayangi saham-saham seperti PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) sebesar Rp 118,60 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) senilai Rp 87,83 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan Rp 83,02 miliar.
Masih Terjadi Net Sell Asing Meski IHSG Menguat 0,92% Hari Ini (10/9)
VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menjelaskan bahwa berlanjutnya tekanan jual asing dipicu oleh beberapa faktor krusial. Pertama, adanya ketidakpastian kebijakan pasca reshuffle kabinet, khususnya di Kementerian Keuangan. Pasar menantikan kejelasan mengenai arah kebijakan baru atau kontinuitas kebijakan yang ada, sebab hal ini akan sangat memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi nasional.
Kedua, kekhawatiran akan pemulihan ekonomi yang berjalan lambat. Audi memprediksi, jika dampak pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia tidak segera terasa dalam jangka pendek, hal ini berpotensi menekan kinerja dan ekspansi para emiten. Ketiga, faktor kebijakan eksternal dan tensi geopolitik yang tidak menentu turut berperan. Ketidakpastian global mendorong investor untuk beralih ke aset ‘safe haven‘ seperti emas, mengurangi eksposur mereka pada aset berisiko tinggi di pasar negara berkembang,” jelas Audi kepada Kontan, Rabu (10/9/2025).
Senada dengan pandangan tersebut, Chief Executive Officer Edvisor Profina Visindo, Praska Putrantyo, menambahkan bahwa investor asing juga terus mencermati kondisi fiskal Indonesia. Kondisi fiskal ini dinilai akan berdampak langsung pada indikator makroekonomi penting seperti inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan daya beli masyarakat. “Oleh karena itu, saat ini kondisi investor masih cenderung ‘wait and see‘, memicu koreksi pasar dalam jangka pendek. Namun, untuk jangka menengah, arus dana asing akan sangat dipengaruhi oleh konsistensi kebijakan fiskal,” papar Praska.
Maximilianus Nico Demus, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, berpendapat bahwa kembalinya arus dana asing (inflow) ke pasar saham Indonesia sangat bergantung pada implementasi program-program yang dijanjikan pemerintah.
Nico memproyeksikan, “Secara jangka pendek, capital outflow kemungkinan masih akan berlanjut. Namun, kami berharap menjelang akhir tahun, dana asing berpotensi kembali masuk ke Indonesia, terutama jika terjadi pemangkasan tingkat suku bunga.” Menurutnya, potensi pemangkasan suku bunga, khususnya oleh The Fed, dapat menjadi stimulus positif yang mendorong aliran dana asing ke emerging market, termasuk Indonesia. Selain itu, pertumbuhan makroekonomi yang solid juga menjadi daya tarik pasar saham, namun kondisi makroekonomi global dan domestik harus berjalan seimbang. “Jika sisi global mendukung tetapi di dalam negeri terdapat ketidakstabilan politik, hal itu akan dihindari oleh pelaku pasar dan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia,” tegas Nico.
IHSG Menguat 0,92% ke 7.699 pada Rabu (10/9/2025), ARTO, BRPT, MAPI Top Gainers LQ45
Strategi Investasi di Tengah Volatilitas
Di tengah volatilitas pasar yang tinggi, Nico Demus menyarankan investor berorientasi jangka panjang untuk melihat tekanan ini sebagai peluang. Koreksi pasar dapat dimanfaatkan untuk mengakumulasi saham emiten berfundamental kuat yang harganya sedang terdiskon.
Sementara itu, Oktavianus Audi mencermati data historis yang menunjukkan bahwa peluang penguatan IHSG di bulan September hanya sekitar 20% dalam satu dekade terakhir. Oleh karena itu, ia merekomendasikan beberapa strategi. “Bagi investor jangka panjang, disarankan untuk memilih emiten yang sensitif terhadap suku bunga, dengan pendekatan ‘play safe‘. Sementara untuk jangka pendek, sektor energi masih menarik seiring dengan siklus tematiknya,” ungkap Audi.
Kiwoom Sekuritas juga memberikan rekomendasi saham pilihannya. Untuk jangka panjang, mereka menyarankan beli saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan target harga Rp 4.250, serta PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dengan target harga Rp 3.240 per saham. Tak ketinggalan, rekomendasi beli untuk PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan target harga Rp 10.800 per saham. Terakhir, untuk strategi jangka pendek, Kiwoom Sekuritas merekomendasikan trading buy untuk saham PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) dengan target harga Rp 3.300 per saham.