Infrastruktur: Peluang Saham Akhir Tahun & Rekomendasi Emiten Terbaik

Kinerja emiten sektor infrastruktur diprediksi akan terus menguat menjelang akhir tahun, mencerminkan optimisme pasar yang signifikan. Per 24 Oktober 2025, indeks IDX Infrastructure (IDXINFRA) tercatat telah melonjak impresif sebesar 30,82% sejak awal tahun (year to date/YTD), menunjukkan daya tarik yang kuat di mata investor.

Menurut Fundamental Analyst BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, peningkatan kinerja IDXINFRA ini didorong oleh euforia investor terhadap saham-saham di subsektor Utilitas Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Optimisme terhadap transisi energi bersih, dukungan kebijakan pemerintah yang konsisten, serta ekspektasi pertumbuhan jangka panjang pada sektor energi hijau secara kolektif mendorong kenaikan harga pada saham-saham berkapitalisasi besar di segmen ini. Momentum positif ini juga diperkuat oleh sentimen makro, termasuk keberlanjutan proyek infrastruktur strategis nasional dan arus modal asing yang mengalir ke sektor defensif berbasis aset riil.

Pendorong utama kenaikan indeks IDXINFRA adalah saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA). BREN menjadi kontributor terbesar berkat bobot kapitalisasi pasar yang masif dan popularitasnya yang tinggi di kalangan investor ritel. Sementara itu, CDIA mendapatkan dorongan kuat dari eksposur bisnisnya di bidang logistik dan transportasi maritim. Namun, menjelang akhir kuartal ketiga, reli yang solid ini mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan seiring dengan valuasi yang dianggap terlalu mahal, dengan BREN mencatatkan rasio harga terhadap laba (PER) sebesar 591 kali, serta sinyal konsolidasi pasar yang muncul menjelang rebalancing indeks pada Oktober.

Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, juga mengamini bahwa kenaikan IDXINFRA disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, lonjakan tajam pada beberapa emiten besar dan likuid di sektor infrastruktur, termasuk dampak pasca-IPO dan reli pada saham CDIA yang menarik aliran modal besar. Kedua, adanya “relief” pada segmen EBT, seperti BREN, yang mendapatkan rerating karena ekspektasi proyek energi terbarukan. Ketiga, pergeseran alokasi investor, baik ritel maupun produk pasif seperti ETF, yang semakin memasukkan saham-saham infrastruktur dan holding ke dalam portofolio mereka. Sumber pasar mencatat CDIA dan BREN sebagai kontributor material terhadap pergerakan sektor ini, dengan data harga dan volume yang menunjukkan aktivitas perdagangan yang sangat kuat pada keduanya.

Senada, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Hari Rachmansyah, menyoroti bahwa penggerak utama kinerja IDXINFRA berasal dari kenaikan saham BREN, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan CDIA. Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah yang semakin fokus pada pengembangan dan transisi ke sumber energi alternatif. Selain itu, sektor telekomunikasi juga turut memberikan kontribusi positif, khususnya PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Indosat Tbk (ISAT), dan PT XL Axiata Tbk (EXCL). TLKM sendiri mendapatkan sentimen positif setelah melakukan aksi korporasi strategis berupa spin-off bisnis infrastruktur serat optik ke anak usaha baru, PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF). Langkah ini direspons positif oleh pasar, tercermin dari kenaikan harga saham TLKM hingga 15% dalam pekan terakhir.

Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melakukan evaluasi minor terhadap IDXINFRA yang efektif berlaku sejak 1 Oktober 2025, dengan periode efektif konstituen hingga 30 Juni 2026 dan periode jumlah saham penghitungan indeks berlaku hingga 30 Desember 2025. Dalam rebalancing ini, bobot CDIA dan BREN terhadap indeks mengalami penurunan signifikan. Bobot CDIA terhadap IDXINFRA turun dari 18,52% menjadi 9%, sementara bobot BREN turun dari 9,42% menjadi 9%.

Menurut Arinda, penurunan bobot CDIA dan BREN dalam evaluasi indeks ini mengubah mekanika penggerak IDXINFRA. Secara teknis, rebalancing ini mengurangi sensitivitas indeks terhadap fluktuasi harga kedua saham tersebut dan sekaligus memaksa produk pasif (ETF) yang mereplikasi indeks untuk melakukan rebalancing dengan menjual sebagian posisi di CDIA atau BREN dan membeli konstituen lain. Efek langsungnya adalah potensi tekanan jangka pendek pada CDIA dan BREN, namun secara relatif memberikan dukungan bagi saham-saham infrastruktur lain yang bobotnya naik. Implikasi praktisnya bagi kinerja konstituen adalah bahwa pergerakan CDIA dan BREN kini lebih banyak ditentukan oleh faktor fundamental dan likuiditas spesifik emiten, sementara nama-nama pengganti berpeluang mengambil alih peranan sebagai “penopang” indeks jika mendapatkan arus modal pasif.

Abida juga berpendapat senada, menyatakan bahwa penurunan bobot bisa menyebabkan BREN menghadapi tekanan jual berkelanjutan karena valuasinya yang ekstrem tidak lagi sejalan dengan bobot barunya di indeks, dengan nilai intrinsik konservatif diperkirakan sekitar Rp750 hingga Rp950 per saham. Di sisi lain, CDIA, meskipun terdampak teknis, tetap memiliki daya tarik bagi trader jangka pendek karena volatilitasnya yang tinggi. Secara keseluruhan, rebalancing ini membuka ruang rotasi dana menuju saham-saham undervalued di subsektor Telekomunikasi dan Jalan Tol yang saat ini berada pada valuasi diskon dan memiliki katalis fundamental yang lebih kuat.

Hari Rachmansyah menambahkan, dengan porsi yang lebih kecil, kenaikan harga saham BREN dan CDIA tidak lagi memberikan dampak sebesar sebelumnya terhadap indeks. Namun, secara fundamental, prospek keduanya tetap positif. Misalnya, BREN masih diuntungkan oleh ekspansi proyek energi baru terbarukan dan kebijakan pemerintah yang pro-transisi energi, sementara CDIA didukung oleh peningkatan permintaan infrastruktur energi dan proyek logistik strategis. Sementara itu, ruang pergerakan indeks ke depan bisa lebih banyak dipengaruhi oleh konstituen besar lain seperti TLKM, ISAT, dan PGEO, terutama dengan sentimen positif dari sektor telekomunikasi dan keberlanjutan energi yang masih kuat di tahun 2025.

Arinda melihat, di sisa tahun 2025, momentum peningkatan kinerja IDXINFRA kemungkinan akan berlanjut, meskipun dengan volatilitas karena rebalancing dan realisasi proyek yang dapat memicu koreksi sementara. Untuk 12 bulan ke depan, subsektor yang paling berpeluang menjadi juara adalah renewables, independent power, dan infrastruktur digital seperti data center serta telekomunikasi. Hal ini didukung oleh pipeline proyek energi bersih, minat yang tinggi terhadap ESG (Environmental, Social, and Governance), dan kebutuhan digitalisasi yang terus meningkat. Sementara itu, emiten kontraktor konstruksi tradisional berisiko tertahan jika alokasi APBN untuk PUPR tetap ketat, kecuali mereka berhasil mengamankan proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (PPP) atau swasta. Arinda menyarankan investor untuk memperhatikan BREN dan CDIA dengan target harga masing-masing Rp9.975 per saham dan Rp2.280 per saham.

Menjelang akhir tahun 2025, Abida memperkirakan IDXINFRA akan bergerak dalam fase konsolidasi pasca-reli besar di paruh pertama tahun ini. Faktor makroekonomi, seperti suku bunga tinggi dan potensi pergeseran anggaran pemerintah ke program sosial, mungkin membatasi potensi kenaikan indeks. Namun, pergerakannya akan memiliki potensi penurunan yang terbatas, karena sekitar 30% bobot indeks kini berasal dari saham dengan valuasi rendah, dengan PER di bawah 15 kali dan PBV kurang dari 2 kali. Di sisi lain, dukungan tetap datang dari pipeline proyek KPBU senilai Rp124 triliun, termasuk pembangunan tujuh ruas tol baru yang menjaga momentum positif sektor infrastruktur.

Tahun 2026 diprediksi akan menjadi fase rotasi subsektoral, di mana modal akan bergeser dari saham berbasis momentum seperti utilitas EBT ke saham berbasis nilai dan siklus seperti Telekomunikasi dan Jalan Tol. Subsektor Telko, seperti TLKM, ISAT, dan MTEL, akan menjadi jawara kinerja baru, ditopang pemulihan laba bersih sektor dari 3% di tahun 2025 menjadi 6,7% di tahun 2026. Hal ini juga seiring dengan berakhirnya perang harga data dan kenaikan ARPU (Average Revenue Per User). Jasa Marga (JSMR) juga diuntungkan oleh realisasi kenaikan tarif tol dan arus kas yang lebih stabil. Abida merekomendasikan beli untuk TLKM, JSMR, dan MTEL dengan target harga masing-masing Rp3.500 per saham, Rp4.750 per saham, dan Rp800 per saham. Rekomendasi speculative buy diberikan untuk CDIA untuk trading jangka pendek di area Rp2.050 – Rp2.120 per saham, dengan target Rp2.180 – Rp2.240 per saham.

Hari Rachmansyah menilai, saham telekomunikasi dan energi berkapitalisasi pasar besar akan menjadi pintu masuk investor asing hingga akhir tahun 2025. Namun, aksi ambil untung (profit taking) di beberapa sektor yang sudah reli, seperti energi dan infrastruktur, juga bisa menahan laju penguatan indeks. Sementara itu, di tahun 2026 terdapat potensi rotasi ke sektor konstruksi dan properti jika belanja infrastruktur APBN menunjukkan peningkatan. Hari merekomendasikan beli untuk TLKM dan ISAT dengan target harga masing-masing Rp3.800 per saham dan Rp2.160 per saham.

Ringkasan

Kinerja emiten sektor infrastruktur menunjukkan penguatan signifikan, didorong oleh antusiasme investor terhadap saham-saham energi baru dan terbarukan (EBT), terutama BREN dan CDIA. Indeks IDXINFRA mencatat kenaikan yang impresif, namun rebalancing indeks oleh BEI berpotensi mengubah dinamika penggerak indeks dengan mengurangi bobot CDIA dan BREN, sehingga memengaruhi sensitivitas indeks terhadap fluktuasi harga kedua saham tersebut.

Para analis memperkirakan fase konsolidasi untuk IDXINFRA menjelang akhir tahun 2025, dengan potensi rotasi subsektoral ke sektor telekomunikasi dan jalan tol di tahun 2026. Rekomendasi saham meliputi TLKM, JSMR, dan MTEL untuk investasi jangka panjang, serta CDIA untuk trading jangka pendek. Saham telekomunikasi dan energi berkapitalisasi besar diprediksi menjadi daya tarik bagi investor asing, meskipun aksi ambil untung dapat membatasi laju penguatan indeks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *