JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan Selasa, 19 Agustus 2025, dengan pelemahan signifikan. IHSG parkir di zona merah setelah terkoreksi 0,45%, mencapai level 7.862. Penurunan ini menjadi perhatian para analis pasar saham.
Pelemahan IHSG diamati oleh VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi. Menurutnya, koreksi terjadi seiring kenaikan volume transaksi yang melampaui rata-rata dalam 20 hari terakhir. “Koreksi ini juga disebabkan sentimen pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan aktivitas profit taking dari beberapa saham yang berkinerja unggul di pekan sebelumnya,” jelas Audi.
Senada dengan pengamatan tersebut, Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas, Alrich Paskalis Tambolang, menambahkan bahwa saham sektor infrastruktur mengalami koreksi terbesar, yakni 0,54%. Kendati demikian, sektor industrial berhasil membukukan penguatan signifikan mencapai 1,85%, yang berperan menahan laju penurunan IHSG agar tidak lebih dalam.
Dari sisi teknikal, Alrich menjelaskan bahwa indikator Stochastic RSI IHSG mengalami deathcross di area overbought. Sementara itu, indikator MACD mulai menunjukkan penurunan histogram positif. “Volume jual masih mendominasi, meskipun tidak sebesar perdagangan hari sebelumnya. Oleh karena itu, IHSG diperkirakan masih berpotensi melanjutkan koreksi, menguji level support 7800 dan sekaligus menutup gap down,” urai Alrich.
Oktavianus Audi juga menaksir bahwa IHSG akan bergerak fluktuatif cenderung melemah dalam rentang level support 7.815 dan resistance 7.925. Indikator MACD cenderung landai, dan RSI menunjukkan penurunan. Sentimen utama yang akan memengaruhi pergerakan pasar selanjutnya adalah penantian investor terhadap rilis keputusan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Audi memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga di level 5,25%. “Sikap dan pandangan BI, jika masih membuka peluang pemangkasan hingga akhir 2025, akan dapat direspons positif oleh pasar saham,” ujarnya.
Meski demikian, Alrich berpendapat bahwa BI diperkirakan masih berpeluang menurunkan suku bunga lagi pada tahun ini, asalkan laju inflasi tetap terkendali dalam kisaran target BI, yakni 1,5%-3,5%. Sebagai informasi, inflasi Mei hingga Juli 2025 berturut-turut meningkat, mencapai 2,37% secara tahunan (year on year/YoY) pada Juli 2025. Angka ini merupakan inflasi tertinggi sejak Juni 2024, namun masih berada dalam kisaran target yang ditetapkan BI.
Dari sisi global, investor juga akan mencermati keputusan moneter bank sentral Tiongkok. Bank sentral tersebut diperkirakan akan kembali mempertahankan Loan Prime Rate (LPR) 1 tahun pada level 3% dan 5 tahun pada level 3,5%. “Dipertahankannya suku bunga pada level rendah ini disinyalir sebagai upaya Tiongkok untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman perang tarif, melemahnya daya beli, dan upaya pemulihan sektor properti,” jelas Alrich.
Selain itu, dari Inggris, investor menantikan rilis data inflasi bulan Juli 2025. Inflasi Inggris diperkirakan naik menjadi 3,7% YoY dari posisi 3,6% YoY di bulan Juni, yang jika terjadi, akan menjadi level tertinggi sejak Januari 2024.
Melihat berbagai sentimen yang akan memengaruhi pasar tersebut, Alrich menyarankan investor untuk mencermati saham-saham seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG).
Ia juga menyebut saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), dan PT Petrosea Tbk (PTRO) layak untuk dicermati dalam perdagangan besok, Rabu (20/8/2025).
Sementara itu, Oktavianus Audi secara spesifik merekomendasikan strategi buy on break untuk saham BRMS, dengan level support Rp 430 dan resistance Rp 530. Selain itu, ia juga menyarankan trading buy untuk saham PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) di level support Rp 416 dan resistance Rp 540 pada perdagangan Rabu (20/8/2025).