PT Bukit Asam Tbk (PTBA), emiten yang selama ini telah memupuk reputasi sebagai pembagi dividen yang sangat royal kepada para pemegang sahamnya, kini tengah menjadi sorotan. Perusahaan tambang raksasa ini angkat bicara mengenai prospek pembagian dividen tahun buku 2025, khususnya di tengah tekanan harga batubara yang sedang melemah secara global.
Pengaruh volatilitas harga batubara ini diakui secara langsung oleh Una Lindasari, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Bukit Asam. Beliau menyatakan bahwa tren pelemahan ini cukup memberikan dampak signifikan terhadap kinerja keuangan PTBA. Oleh karena itu, harapan besar kini tertumpu pada pemulihan dan stabilitas harga batubara di pasar global.
Apabila skenario pemulihan harga batubara terwujud, prospek PTBA untuk mencetak kenaikan laba bersih dan secara konsisten mendistribusikan dividen kepada para investor diyakini akan tetap terjaga. Una Lindasari menegaskan komitmen perseroan dalam sebuah paparan publik pada Kamis (10/9), “Mudah-mudahan harga batubara lebih tinggi lagi supaya profit kami tetap terjaga. Tapi untuk saat ini, kami tetap akan berusaha supaya tidak mengecewakan investor.”
Mengingat kembali reputasi kedermawanan PTBA, pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang diselenggarakan Juni lalu, perseroan telah menyetujui pembagian dividen tahun buku 2024 sebesar Rp 3,8 triliun, atau setara Rp 332 per saham. Angka ini mencerminkan dividen payout ratio (DPR) yang mencapai 75%, sebuah bukti kuat komitmen PTBA kepada para investornya sebelum tekanan harga batubara saat ini.
Namun, kondisi terkini kinerja keuangan PTBA memang belum sepenuhnya menunjukkan tanda-tanda menggembirakan, seolah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tersandung penurunan harga batubara dan kinerjanya tertekan harga jual serta permintaan. Laporan semester I-2025 menunjukkan bahwa meskipun pendapatan perseroan berhasil tumbuh 4% secara year-on-year (yoy) mencapai Rp 20,45 triliun, laba bersih PTBA justru mengalami penurunan signifikan. Angka laba bersih tercatat tergerus tajam hingga 59% yoy, hanya mencapai Rp 0,93 triliun pada periode yang sama, mengindikasikan dampak nyata dari tekanan harga batubara dan dinamika pasar.