Ekonom Minta Pemerintah Tidak Intervensi Kebijakan Moneter BI

Jakarta, IDN Times – Pernyataan terbaru Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai arah kebijakan moneter dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR telah memicu perdebatan serius di kalangan ekonom. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa komentar tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar tentang batasan kewenangan antara otoritas fiskal dan moneter di Indonesia.

Josua menjelaskan, secara hukum, Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI) secara eksplisit melarang pemerintah melakukan intervensi langsung terhadap kebijakan moneter. Ini mencakup penetapan suku bunga, upaya pengendalian inflasi, hingga pengelolaan nilai tukar rupiah. “Setiap komentar yang terkesan mengarahkan atau mengkritisi kebijakan moneter dapat dipersepsikan memengaruhi independensi bank sentral,” tegas Josua kepada IDN Times, Jumat (12/9/2025).

Risiko yang Muncul Bila Pemerintah Mengganggu Kredibilitas BI

Lebih lanjut, Josua Pardede menekankan bahwa dalam praktik ekonomi global, kredibilitas bank sentral sangat bergantung pada tingkat independensinya dari intervensi politik. Apabila muncul kesan bahwa pemerintah berupaya mengendalikan arah kebijakan moneter, maka risiko yang mengintai sangat besar terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Risiko ini dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari melemahnya kepercayaan investor, terjadinya arus keluar modal (capital outflow) yang signifikan, tekanan kuat terhadap nilai tukar rupiah, hingga kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Hal ini terjadi karena investor akan menuntut premi risiko yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas ketidakpastian yang meningkat akibat intervensi tersebut.

Sinergi Fiskal-Moneter Harus Tetap Hormati Independensi BI

Di sisi lain, Josua juga mengakui pentingnya sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter. Namun, ia menegaskan bahwa sinergi tersebut harus selalu dijalankan dalam kerangka yang transparan, akuntabel, dan yang terpenting, tetap menghormati independensi Bank Indonesia. “Artinya, sinergi diperbolehkan selama sebatas koordinasi, bukan intervensi,” jelasnya lugas.

Josua menambahkan, apabila pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dimaknai hanya sebagai dorongan agar kebijakan fiskal dan moneter lebih sinkron dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, dampaknya bisa bersifat netral. Namun, jika pernyataan tersebut ditafsirkan sebagai upaya untuk mengarahkan atau bahkan mengintervensi BI, maka risiko terhadap kredibilitas institusi moneter akan meningkat tajam, berpotensi merusak fondasi kepercayaan publik dan pasar.

Menkeu Soroti Likuiditas Kering karena Tidak Selarasnya Kebijakan Moneter dan Fiskal

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memang telah menyoroti kondisi sistem keuangan nasional yang ia nilai cukup “kering” dalam satu tahun terakhir. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh kurang selarasnya kebijakan fiskal dan moneter yang berujung pada perlambatan ekonomi. “Begitu saya masuk ke Kemenkeu, saya lihat sistem finansial kita agak kering. Selama satu tahun terakhir, orang susah cari kerja karena ada kesalahan kebijakan antara moneter dan fiskal,” ujar Purbaya.

Kondisi likuiditas yang tersendat ini, lanjutnya, menyebabkan perputaran uang di masyarakat menjadi terhambat, yang pada gilirannya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan memperparah kesulitan masyarakat dalam mencari pekerjaan. Situasi ini dinilai menghambat geliat perekonomian secara keseluruhan.

Menanggapi persoalan tersebut, pemerintah berencana mengambil langkah konkret dengan menempatkan dana sebesar Rp200 triliun di perbankan nasional. Dana tersebut merupakan bagian dari total simpanan pemerintah sebesar Rp430 triliun yang saat ini masih tersimpan di Bank Indonesia. Rencana strategis ini, kata Purbaya, telah dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto. “Dari Rp430 triliun, saya pindahkan Rp200 triliun ke sistem perbankan agar bisa menyebar dan ekonomi tumbuh,” tegas Purbaya, menunjukkan komitmennya untuk mengatasi masalah likuiditas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *