KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo telah merilis rincian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yang menetapkan target pertumbuhan ekonomi ambisius sebesar 5,4%. Dokumen RAPBN 2026 ini memproyeksikan pendapatan negara mencapai Rp 3.147,7 triliun, meningkat 4,76% dari target APBN 2025. Sementara itu, belanja negara direncanakan sebesar Rp 3.786,5 triliun, tumbuh 4,56% dari tahun sebelumnya. Dengan postur anggaran negara tersebut, defisit anggaran tahun depan diperkirakan sebesar Rp 638,8 triliun, atau setara dengan 2,48% dari total Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukkan keseimbangan antara ekspansi dan disiplin fiskal.
Pandangan Pelaku Pasar
Pengumuman RAPBN 2026 segera menuai beragam respons dari pelaku pasar. Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menyatakan kekhawatirannya bahwa anggaran negara yang disusun pemerintah cenderung terlalu optimistis. Menurutnya, optimisme yang kurang realistis ini justru dapat memicu keraguan di kalangan investor. Teguh bahkan memprediksi bahwa tren arus keluar investor asing yang sudah berlangsung sepanjang tahun 2025 berpotensi berlanjut ke 2026 jika pemerintah tidak menyajikan postur anggaran yang lebih membumi. Ia menambahkan, revisi anggaran biasanya terjadi, namun jika postur ini bertahan, respons pasar mungkin akan cenderung negatif.
Di sisi lain, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, memberikan pandangan yang lebih positif. Ia menilai postur RAPBN 2026 di bawah pemerintahan Presiden Prabowo ini relatif disiplin, namun tetap ekspansif dalam rangka mendukung target pertumbuhan ekonomi 5,4%. Menurut Rully, anggaran ini strategis karena diarahkan pada agenda prioritas seperti ketahanan pangan, energi, program Makan Bergizi Gratis, hingga penguatan Koperasi Merah Putih. Ia menegaskan, “Efisiensi anggaran tetap dijaga, namun tetap fleksibel menghadapi kemungkinan guncangan dan menjaga ruang fiskal untuk belanja pembangunan prioritas. Saya rasa pasar merespon positif disiplin fiskal.”
Meski demikian, Rully juga mencermati bahwa postur anggaran tidak selalu berkorelasi langsung dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Menurutnya, IHSG saat ini lebih banyak digerakkan oleh pergerakan saham-saham konglomerasi yang valuasinya telah cenderung tinggi. Namun, ia melihat peluang fundamental yang baik jika perusahaan mampu menyesuaikan strategi mereka dengan berbagai program pemerintah.
Disokong Emiten Konglomerasi, Bisakah IHSG Kembali Tembus Level 8.000?
Analis dan VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, juga turut menyoroti target pertumbuhan ekonomi 5,4% sebagai angka yang cukup ambisius, mengingat tren pertumbuhan 2023–2024 masih berkisar 5%–5,2%. Kendati demikian, Audi menilai proyeksi defisit anggaran sebesar 2,48% terhadap PDB masih tergolong aman. Angka ini dianggap mampu menjaga kredibilitas fiskal sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi belanja produktif untuk mendukung pembangunan nasional.
Sektor Investasi
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun 2026, pemerintah telah menetapkan empat pilar utama: investasi, ekspor, ekonomi digital, serta hilirisasi mineral kritis. Secara spesifik, sektor investasi menjadi fokus utama dengan proyeksi kebutuhan dana mencapai Rp 7.450 triliun dari total PDB nasional. Mayoritas dari angka tersebut, yakni Rp 6.200 triliun, diharapkan berasal dari investasi swasta. Sementara itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Danantara ditargetkan menyumbang Rp 720 triliun, dan pemerintah melalui APBN sekitar Rp 530 triliun.
Prediksi IHSG Pekan Ini dari KISI Sekuritas
Oktavianus Audi menjelaskan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi ini sangat mengandalkan peran sektor swasta. Dengan 83% dari target investasi yang diharapkan dari swasta, pemerintah lebih bertindak sebagai katalisator daripada motor utama penggerak. Oleh karena itu, keberhasilan pencapaian target ini akan sangat bergantung pada iklim investasi yang kondusif, mencakup regulasi, insentif fiskal, kepastian hukum, hingga stabilitas politik.
Lebih lanjut, Audi mengidentifikasi beberapa sektor emiten yang berpotensi menjadi penopang utama dalam merealisasikan target RAPBN 2026. Pasar diperkirakan akan mencermati sektor-sektor berikut:
- Hilirisasi: Transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) dianggap sebagai kunci rerating bagi sektor ini. Saham-saham yang diperkirakan akan terdampak positif meliputi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
- Digital: Peluang sinergi dengan sovereign wealth fund dan big tech diperkirakan akan memengaruhi performa saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL).
- Energi dan Energi Terbarukan: Meskipun terbatasi oleh kebutuhan belanja modal yang besar, valuasi pada sektor ini berpotensi meningkat. Contoh emiten yang relevan adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
- Keuangan: Sektor keuangan memiliki peran krusial sebagai penyalur kredit sebesar Rp 6.200 triliun untuk investasi swasta. Namun, risiko pembiayaan proyek besar tetap harus diantisipasi oleh perbankan.
“Kami berpandangan positif terhadap emiten konstituen indeks BUMN jika dapat dijalankan dan dikelola dengan baik sesuai dengan RAPBN,” kata Audi kepada Kontan, Senin (18/8).
Penguatan IHSG Ditopang Saham Lapis Kedua, Intip yang Masih Menarik
Percepatan Belanja di Semester II-2025
Percepatan realisasi belanja pemerintah pada paruh kedua tahun 2025 juga diproyeksikan akan membawa dampak bervariasi bagi berbagai sektor saham. Teguh Hidayat menguraikan beberapa program prioritas pemerintah yang akan digenjot tahun ini, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan pembangunan 3 juta rumah.
Teguh meyakini bahwa Program Makan Bergizi Gratis berpotensi memberikan sentimen positif yang signifikan terhadap emiten konsumer, khususnya produsen bahan pangan seperti beras, telur, dan ayam. Dengan demikian, sektor unggas, diwakili oleh saham JPFA dan CPIN, diperkirakan akan merasakan dampak positif dari inisiatif ini.
Di sisi lain, program Koperasi Merah Putih, yang pendanaannya disalurkan melalui sektor perbankan, justru dinilai berisiko tinggi. Teguh mengkhawatirkan bahwa pembiayaan yang disalurkan dalam program ini dapat meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPL) di bank-bank yang terlibat. “Program ini belum tentu menguntungkan malah bisa jadi merugikan untuk perbankan,” tegasnya.
IHSG Masih Bisa Menguat Pasca HUT RI, Ini Saham yang Bisa Ditimbang
Untuk program Sekolah Rakyat, Teguh tidak melihat adanya dampak yang signifikan bagi perusahaan swasta. Namun, program pembangunan 3 juta rumah diyakini akan memberikan dorongan positif yang kuat bagi sektor perbankan, khususnya Bank BTN, Bank BRI, dan Bank Danamon, yang memiliki eksposur besar dalam penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).