Jakarta – PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA secara tegas membantah tudingan adanya dugaan rekayasa dalam akuisisi 51 persen sahamnya oleh Djarum pada tahun 2003. Pembelian saham senilai sekitar Rp5 triliun tersebut, yang kerap dituding melanggar hukum dengan klaim nilai pasar BCA kala itu mencapai Rp117 triliun, ditegaskan tidak berdasar.
Menanggapi narasi tersebut, Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menjelaskan bahwa angka Rp117 triliun yang sering disebut sebenarnya merujuk pada total aset perusahaan, bukan pada nilai pasar. Penjelasan ini dikutip dari keterbukeran informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (22/8/2025), mengklarifikasi perbedaan fundamental antara total aset dan kapitalisasi pasar.
Dalam menentukan nilai pasar suatu perusahaan, metodenya adalah mengalikan harga saham di bursa efek dengan total jumlah saham yang beredar. Berdasarkan perhitungan ini, pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di BEI adalah sekitar Rp10 triliun. Hal ini menegaskan bahwa nilai akuisisi sebesar Rp5 triliun untuk 51 persen saham sangat mencerminkan kondisi pasar yang berlaku saat itu.
Ketut Alam juga menambahkan bahwa seluruh proses tender akuisisi yang dilaksanakan oleh konsorsium FarIndo berlangsung dengan sangat transparan dan akuntabel. Proses ini diawasi ketat oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Dengan demikian, nilai akuisisi BCA benar-benar mencerminkan kondisi pasar yang objektif pada periode tersebut.
Selain bantahan mengenai akuisisi saham, BCA juga secara kategoris menolak kabar yang menyatakan perseroan memiliki utang kepada negara senilai Rp60 triliun, yang konon dicicil Rp7 triliun per tahun. Ketut Alam menjelaskan bahwa angka Rp60 triliun tersebut sejatinya adalah total aset obligasi pemerintah yang dimiliki oleh BCA. Seluruh aset obligasi ini telah diselesaikan sepenuhnya pada tahun 2009, sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.
“Informasi yang menyebutkan adanya pelanggaran hukum dalam akuisisi saham BCA tidak benar. Proses dilakukan sesuai mekanisme pasar dan regulasi yang berlaku,” tegas Ketut Alam, menggarisbawahi komitmen BCA terhadap tata kelola perusahaan yang baik dan kepatuhan hukum dalam setiap operasionalnya.
Di samping isu-isu tersebut, sempat pula berembus isu mengenai potensi pemerintah untuk mengambil alih 51 persen saham bank swasta terbesar di Indonesia ini. Rencana akuisisi tersebut dikaitkan dengan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di masa lampau, yang menjadi latar belakang spekulasi di kalangan publik.
Ringkasan
BCA membantah tudingan rekayasa dalam akuisisi 51% saham oleh Djarum pada tahun 2003. Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menjelaskan bahwa nilai Rp117 triliun yang dipermasalahkan adalah total aset, bukan nilai pasar. Berdasarkan harga saham di BEI saat itu, nilai pasar BCA sekitar Rp10 triliun, sehingga akuisisi Rp5 triliun untuk 51% saham mencerminkan kondisi pasar.
BCA juga membantah memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang dicicil Rp7 triliun per tahun. Angka Rp60 triliun tersebut adalah total aset obligasi pemerintah yang dimiliki BCA dan telah diselesaikan pada tahun 2009. Selain itu, BCA menepis isu pemerintah akan mengambil alih 51% sahamnya yang dikaitkan dengan utang BLBI.