KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kekhawatiran kembali menyelimuti pelaku pasar menyusul pengumuman Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengenai rencana penerapan tarif tambahan untuk impor produk furnitur ke negaranya. Kebijakan ini berpotensi memicu gejolak baru dalam lanskap perdagangan global.
Melalui unggahannya di media sosial Truth Social, Trump mengungkapkan bahwa investigasi mengenai penerapan tarif impor furnitur sedang berlangsung dan ditargetkan rampung dalam 50 hari ke depan. “Furnitur yang masuk dari negara lain ke Amerika Serikat akan dikenakan tarif dengan besaran yang masih akan ditentukan,” kata Trump dalam pernyataannya pada Jumat (22/8/2025), yang mengindikasikan babak baru proteksionisme perdagangan AS.
Ancaman kebijakan tarif AS ini sontak menarik perhatian produsen furnitur Tanah Air, termasuk PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD). Investor Relations WOOD, Ravenal Arvense, menyatakan bahwa pihaknya terus mencermati dinamika regulasi AS yang sangat berpengaruh terhadap industri ini. Wajar saja, ekspor WOOD ke AS tercatat mencapai Rp 1,3 triliun pada semester I 2025, menyumbang sekitar 90% dari total ekspor perseroan. Mayoritas, yakni 85% dari nilai tersebut, berasal dari produk building components.
“Pasar ini merupakan importir terbesar dunia untuk produk furniture dan building components berbasis kayu,” ujar Ravenal kepada Kontan, Senin (25/8/2025), menegaskan betapa krusialnya pasar AS bagi industri furnitur Indonesia.
Meskipun demikian, Ravenal menegaskan bahwa WOOD tidak terlalu khawatir dengan ancaman tarif ini. Sejak 2024, WOOD telah proaktif melakukan diversifikasi pasar ekspor dan produk baru. Saat ini, jangkauan pasar WOOD sudah meluas ke wilayah Eropa dan Asia, menunjukkan langkah strategis perusahaan dalam mengurangi ketergantungan. Hingga Juni 2025, WOOD bahkan telah berhasil melakukan pengiriman perdana produk flooring senilai US$ 1 juta ke Eropa. Sementara itu, untuk produk outdoor furniture, pengiriman perdana ke Eropa dijadwalkan pada September 2025 mendatang.
“Kami juga tengah mempersiapkan ekspor ke Timur Tengah. Strategi ini diharapkan mampu memperluas pangsa pasar sekaligus secara signifikan mengurangi ketergantungan pada pasar AS,” jelas Ravenal, memproyeksikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan penjualan.
IHSG Menguat 0,87% pada 25 Agustus 2025, Saham Bank BUMN Kompak Menghijau
Lebih lanjut, Ravenal menambahkan bahwa kebijakan tarif impor AS ini ditaksir akan berdampak terbatas pada kinerja WOOD. Pasalnya, produk building components, yang merupakan kontributor utama ekspor mereka, masih termasuk dalam daftar pengecualian tarif AS berdasarkan beleid Annex II. Dengan demikian, WOOD optimistis bahwa strategi diversifikasi yang dijalankan akan tetap berkontribusi pada pertumbuhan penjualan tahun ini.
Di sisi lain, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, menggarisbawahi bahwa rencana kebijakan ini jelas akan menjadi ancaman serius bagi emiten-emiten furnitur. Pasalnya, porsi ekspor produk furnitur Indonesia ke AS mencapai 53-54% dari total ekspor nasional. “Jika tarif benar-benar diterapkan, daya saing furnitur Indonesia akan berkurang, sehingga berpotensi menekan margin keuntungan dan kinerja emiten seperti WOOD, SOFA, MEJA, maupun CINT,” ucap Ekky, mengidentifikasi risiko finansial yang mengintai.
Untuk menangkis ancaman ini, Ekky menyarankan agar emiten terkait segera mengintensifkan diversifikasi pasar ekspor di luar AS, seperti Asia Selatan, Timur Tengah, atau Eropa. Selain itu, peningkatan nilai tambah produk, baik dari sisi desain, inovasi, maupun kualitas, juga dinilai krusial untuk mempertahankan posisi kompetitif produk furnitur di pasar global.
IHSG Menguat 0,87% ke 7.926 pada Senin (25/8/2025), TOWR, SCMA, CTRA Top Gainers LQ45
Namun, Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, memberikan perspektif berbeda. Ia melihat bahwa upaya diversifikasi pasar ekspor tidak luput dari risiko, terutama potensi kenaikan biaya produksi. Oleh karena itu, emiten perlu mengelola efisiensi bisnis secara cerdik untuk menjaga profitabilitas. Tantangan lain yang masih menghantui emiten furnitur adalah daya beli masyarakat yang relatif rendah, dengan dampak pemulihan diperkirakan baru akan terlihat paling cepat di awal 2026, menurut taksiran Wafi.
Dalam situasi ini, Wafi menekankan peran penting pemerintah untuk turut serta. Opsi yang bisa diambil antara lain melakukan negosiasi diplomatik dengan AS terkait kebijakan tarif, atau mempertimbangkan penyuntikan subsidi untuk produk-produk furnitur Indonesia guna menjaga daya saing di pasar global.
IHSG Menguat 1%, Saham-Saham Big Caps Mendorong Indeks
Adapun dari sisi kinerja, Ekky menilai emiten di sektor furnitur masih menunjukkan tren stagnan dan cenderung lesu. Oleh sebab itu, baik Ekky maupun Wafi sepakat untuk mempertahankan sikap wait and see terhadap saham emiten furnitur, sembari menanti kepastian regulasi dari AS dan adanya perbaikan permintaan global yang dapat mengangkat kembali prospek industri furnitur.