Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan performa yang kokoh dan berpotensi besar untuk menembus level psikologis 9.000, melampaui posisinya saat ini di kisaran 8.000-an. Prospek cerah ini didorong oleh kombinasi kinerja impresif saham-saham konglomerat dan antisipasi rebalancing indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI).
Optimisme pasar ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan data terkini dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG telah mencatatkan penguatan sebesar 0,91% ke level 8.124,76. Lebih lanjut, sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) sejak perdagangan perdana 2025, indeks kebanggaan pasar modal Indonesia ini telah melesat 14,76%, menunjukkan daya tahan dan momentum positif yang signifikan.
Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menegaskan adanya peluang penguatan lanjutan IHSG. Dalam Media Day Mirae Asset Sekuritas Indonesia pada Kamis (16/10/2025), Rully memproyeksikan bahwa IHSG mampu mencapai 8.800 bahkan 9.000. Ia menjelaskan, pendorong utamanya adalah laju kencang saham-saham multibagger milik konglomerat, ditambah dengan efek positif dari rebalancing MSCI yang akan datang.
Saat ini, pergerakan IHSG memang sangat ditopang oleh agresivitas saham-saham konglomerat yang melonjak berkali-kali lipat atau ‘multibagger’. Namun, Rully juga memberikan catatan penting: penguatan ini harus tetap didasarkan pada fundamental yang kuat. Ia menyoroti bahwa valuasi saham-saham pendorong utama, termasuk dari grup konglomerat seperti Prajogo Pangestu, Sinarmas, hingga Salim, sudah terbilang mahal dengan rasio PE (price to earning) mencapai ratusan kali, sementara kinerja fundamentalnya cenderung stagnan.
Ketergantungan IHSG pada saham-saham ini menjadi semakin jelas. Rully berpendapat, seandainya saham-saham besutan konglomerat tersebut tidak mengalami lonjakan signifikan, IHSG diperkirakan sulit menembus level 8.000. Hal ini disebabkan oleh kinerja sektor-sektor penopang pasar tradisional, seperti perbankan, yang belakangan ini justru mengalami kelesuan.
Fenomena lonjakan harga saham afiliasi konglomerat Indonesia ini tercermin dari data performa year-to-date beberapa emiten. Ambil contoh, saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) milik Toto Sugiri dan Anthoni Salim telah melesat 550,59% ytd. Dari Grup Sinar Mas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) membukukan kenaikan 210,81% ytd. Sementara itu, PT Multipolar Technology Tbk. (MLPT) dari Grup Lippo milik keluarga Riady terbang 694,59% ytd.
Dominasi ini juga terlihat pada emiten besutan taipan Prajogo Pangestu. PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) dan PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) mencatatkan lonjakan harga saham masing-masing 327,17% ytd dan 926,32% ytd. Angka-angka ini secara gamblang menunjukkan betapa vitalnya peran saham-saham konglomerat dalam mengerek kinerja IHSG secara keseluruhan.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
IHSG berpotensi menembus level 9.000, didorong oleh kinerja saham-saham konglomerat dan antisipasi rebalancing MSCI. Indeks telah mencatatkan penguatan signifikan sepanjang tahun berjalan, mencapai level 8.124,76 dengan kenaikan 14,76% sejak awal tahun 2025.
Penguatan IHSG sangat bergantung pada saham-saham konglomerat, meskipun valuasi saham-saham ini terbilang mahal dengan PE Ratio tinggi. Kinerja sektor penopang pasar tradisional seperti perbankan cenderung lesu, sehingga lonjakan saham konglomerat sangat vital bagi pergerakan IHSG.