Shoesmart.co.id – , JAKARTA — Pasar emas kembali menunjukkan geliatnya. Harga buyback emas Antam terpantau melonjak signifikan, mencatat kenaikan dua digit hingga penutupan Minggu, 31 Agustus 2025.
Melansir data dari Logam Mulia, harga buyback emas Antam tercatat menguat Rp17.000, mencapai level Rp1.827.000 per gram pada Minggu (31/8/2025). Kenaikan ini sangat mencolok, mengingat angkanya telah meroket 33,84% dari posisi awal tahun ini yang berada di Rp1.365.000. Meskipun demikian, pencapaian ini belum berhasil melampaui rekor tertinggi sepanjang masa (all-time high/ATH) emas Antam yang sempat menyentuh angka Rp1.888.000 pada 22 April 2025.
Penting untuk dipahami, buyback emas merujuk pada mekanisme penjualan kembali aset emas yang telah dimiliki, baik dalam wujud logam mulia batangan maupun perhiasan. Dalam praktiknya, harga yang ditawarkan untuk buyback umumnya lebih rendah dibandingkan harga jual emas di pasaran pada waktu yang sama. Namun, bagi investor yang jeli, potensi keuntungan dari transaksi buyback tetap terbuka lebar, terutama jika terjadi selisih harga jual dan harga buyback yang signifikan.
Bagi Anda yang berencana melakukan buyback, perlu dicatat bahwa sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 34/PMK.10/2017, transaksi penjualan kembali emas batangan ke Antam dengan nominal di atas Rp10 juta akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Besarannya adalah 1,5% untuk pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan 3% untuk yang tidak memiliki NPWP. Pajak ini akan langsung dipotong dari total nilai buyback yang diterima.
Kenaikan harga buyback emas Antam ini sejalan dengan tren positif di pasar global. Sebelumnya, pemberitaan dari Bisnis menyoroti bagaimana harga emas dunia mengakhiri pekan dan bulan Agustus 2025 dengan lonjakan dramatis, bahkan menorehkan rekor baru. Momentum ini didorong oleh meningkatnya ekspektasi pasar terhadap potensi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve.
Secara lebih rinci, sepanjang pekan lalu, harga emas di pasar spot berhasil menguat lebih dari 2%, menutup perdagangan di level US$3.443,50 per troy ounce. Angka tersebut semakin impresif jika melihat performa sepanjang bulan Agustus 2025, di mana harga emas secara keseluruhan menguat hingga 4,7%.
Pergerakan serupa juga terlihat pada kontrak berjangka emas Desember di bursa Comex, yang merupakan salah satu acuan utama pasar global. Kontrak ini menunjukkan penguatan hampir 3% dalam sepekan, menembus angka US$3.511,50 per troy ounce.
Mengutip laporan dari Kitco Metals pada Sabtu (30/8/2025), sinyal kuat untuk pembelian emas global mulai terlihat setelah pidato penting Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam simposium tahunan Jackson Hole. Dalam kesempatan tersebut, Powell mengindikasikan adanya pergeseran prioritas kebijakan moneter. Ia tidak lagi sekadar berfokus pada upaya menekan inflasi, melainkan juga menekankan pentingnya menahan perlambatan ekonomi dan mencegah pelemahan pasar tenaga kerja.
Michele Schneider, Kepala Analis MarketGauge, menafsirkan pernyataan Powell ini sebagai sinyal bahwa “Powell memberi sinyal kepada pasar bahwa ia tidak lagi terlalu ngotot membawa inflasi kembali ke 2%. Fokus utamanya kini ada pada kondisi ekonomi dan tenaga kerja,” seperti yang dikutip dari Kitco.
Sebagai informasi tambahan, harga emas Antam di Pegadaian pada Minggu, 31 Agustus 2025, tercatat menembus angka Rp2.060.000.
Ringkasan
Harga buyback emas Antam melonjak signifikan, mencapai Rp1.827.000 per gram pada tanggal 31 Agustus 2025. Kenaikan ini mencerminkan peningkatan sebesar 33,84% dari awal tahun, meskipun belum melampaui rekor tertinggi sepanjang masa. Transaksi buyback emas dengan nominal di atas Rp10 juta akan dikenakan PPh Pasal 22 sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kenaikan harga buyback emas Antam sejalan dengan tren positif di pasar global, didorong oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve. Harga emas di pasar spot dan kontrak berjangka emas Desember di bursa Comex menunjukkan penguatan yang signifikan. Sinyal kuat untuk pembelian emas global terlihat setelah pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, yang mengindikasikan pergeseran prioritas kebijakan moneter.