Shoesmart.co.id – JAKARTA. Meski masih terkesan sepi, bursa karbon Indonesia, atau yang dikenal sebagai IDXCarbon, menunjukkan geliat pertumbuhan yang signifikan menjelang usia dua tahunnya. Optimisme untuk terus mendorong peningkatan proyek dan transaksi perdagangan karbon tetap membara, seiring dengan upaya Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi.
Data terbaru dari Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkap lonjakan aktivitas yang mengesankan. Sepanjang periode 1 Januari hingga 22 Agustus 2025, total nilai perdagangan karbon di IDXCarbon mencapai Rp 24,74 miliar, merepresentasikan volume 696.763 tCO2e. Angka ini mencerminkan pertumbuhan luar biasa sebesar 483% dibandingkan periode serupa tahun 2024 yang hanya Rp 6,14 miliar atau 119.463 tCO2e. Tak hanya nilai, frekuensi perdagangan juga melonjak 158%, dari 50 kali menjadi 129 kali.
Peningkatan transaksi karbon ini didukung oleh penambahan jumlah proyek yang signifikan. Sepanjang tahun 2025, IDXCarbon berhasil mencatatkan 5 proyek baru, sehingga total proyek yang terdaftar kini mencapai 8 proyek, meningkat dari hanya 3 proyek pada tahun sebelumnya. Diversifikasi proyek ini secara langsung mendorong peningkatan jumlah Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) yang diperdagangkan, melonjak 73% dibandingkan tahun 2024.
Mayoritas proyek yang berkontribusi pada pasar karbon ini berasal dari sektor energi, khususnya anak usaha PT PLN. Rinciannya meliputi dua proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) dari PLN Indonesia Power, satu proyek PLTGU dan satu proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dari PLN Nusantara Power. Selain itu, ada satu proyek inovatif dari PTPN IV yang berfokus pada pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit (POME) untuk biogas co-firing.
Peningkatan aktivitas juga terlihat dari penggunaan kredit karbon sebagai offset emisi atau retirement, yang naik 34% menjadi 554.076 tCO2e hingga 22 Agustus 2025, dari 413.287 tCO2e di tahun 2024. Seiring dengan pertumbuhan ini, jumlah pengguna jasa di bursa karbon juga bertambah. Sejak awal 2025, 20 entitas baru telah bergabung, menjadikan total pengguna mencapai 119 entitas. BEI menargetkan penambahan 50 entitas lagi pada tahun 2025, sehingga jumlah pengguna akan mencapai 149 entitas.
Meskipun angka-angka menunjukkan pertumbuhan, Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, mengakui bahwa membangun kesadaran dan mendorong partisipasi aktif di bursa karbon merupakan tantangan yang substansial. Ia menjelaskan, IDXCarbon beroperasi sebagai secondary market yang bersifat sukarela, sehingga banyak perusahaan cenderung hanya berinteraksi di primary market dan merasa cukup dengan memiliki Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Senada dengan Jeffrey, Kepala Riset Praus Capital, Marolop Alfred Nainggolan, menggarisbawahi bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi suplai offset karbon yang sangat besar – didukung oleh luasnya hutan tropis, mangrove, gambut, dan proyek energi terbarukan – tantangan krusial terletak pada permintaan yang masih rendah. Menurut Alfred, sifat sukarela IDXCarbon sebagai secondary market membuat permintaan menjadi opsional, yang pada akhirnya berkontribusi pada nilai transaksi yang relatif sepi.
Kendati demikian, Jeffrey Hendrik optimistis, mengingat volume transaksi IDXCarbon justru lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa bursa karbon di negara lain. Sebagai contoh, transaksi perdagangan karbon di Bursa Karbon Malaysia tercatat sebesar 21.586 tCO2e secara Year-to-Date (YTD), hanya sekitar 3,1% dari capaian IDXCarbon. Sementara itu, Jepang mencatatkan 239.674 tCO2e, sekitar 34,4% dari volume perdagangan di Indonesia.
Untuk mengatasi rendahnya kesadaran dan partisipasi, BEI berencana meluncurkan gelombang kedua program Net Zero Incubator pada semester II 2025. Inisiatif ini bertujuan membekali perusahaan dengan pelatihan dan informasi komprehensif mengenai penghitungan emisi operasional dan mekanisme offset karbon. Jeffrey menegaskan, upaya ini merupakan ‘best effort‘ untuk mengaktifkan bursa karbon, dengan fokus utama pada pembangunan kesadaran di seluruh ekosistem pasar modal.
Selain itu, BEI juga proaktif menjajaki kerja sama dengan negara lain, termasuk melalui peluncuran bursa karbon internasional pada awal 2025. Upaya ini diiringi dengan negosiasi perjanjian bilateral, seperti diskusi yang sedang berlangsung dengan Singapura untuk memastikan kredit karbon Indonesia dapat diakui dalam skema pajak karbon negara tersebut. Indonesia juga telah menandatangani Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan skema JCM (Joint Crediting Mechanism) milik Jepang sejak 28 Oktober 2024, meskipun penerbitan JCM credits melalui SRN-PPI masih dalam tahap penantian.
Namun, Alfred Nainggolan berpandangan bahwa akar permasalahan rendahnya permintaan di bursa karbon sejatinya berada di ranah kebijakan pemerintah. Sementara BEI, menurutnya, berperan vital dalam mengembangkan infrastruktur perdagangannya. Alfred mengingatkan, “pengembangan ini akan mubazir dan tidak efektif jika hal mendasarnya belum tersentuh,” menekankan perlunya intervensi kebijakan yang lebih kuat untuk mendorong pasar karbon.
Isu lain yang mengemuka adalah dominasi proyek di bursa karbon yang berasal dari sektor energi fosil, yang meskipun menawarkan efisiensi teknologi dalam pengurangan emisi, dianggap belum sepenuhnya ‘bersih’ atau ‘hijau’. Menanggapi hal ini, BEI sangat mengharapkan diversifikasi suplai dari SRN PPI, khususnya proyek-proyek di luar sektor energi, seperti dari sektor Forest and Other Land Uses (FOLU) atau kehutanan. Jeffrey menekankan perlunya kolaborasi intensif untuk “mendorong supaya di SRN PPI bisa masuk dari sektor kehutanan.”
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, mengamati bahwa perkembangan IDXCarbon cenderung lambat, diwarnai oleh keterbatasan proyek yang belum sepenuhnya selaras dengan prinsip ‘hijau’. Rully juga menyoroti bahwa proses pencatatan unit karbon dan kriteria kelayakan proyek yang dapat diperdagangkan di bursa masih belum inklusif. Ia menambahkan, banyak emiten atau pemilik proyek yang kesulitan memenuhi persyaratan administratif dan teknis yang diperlukan.
Terkait dampak pada investor, Rully Arya Wisnubroto berpendapat bahwa partisipasi emiten di IDXCarbon umumnya menciptakan sentimen positif, menarik minat investor terhadap saham perusahaan yang proaktif terhadap isu lingkungan atau beroperasi di sektor ramah lingkungan. Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat. Ia menegaskan tidak ada korelasi signifikan antara minat investor di bursa saham dengan keikutsertaan emiten di bursa karbon, mengingat “nilai transaksi bursa karbon sangat kecil dan tidak menjadi pertimbangan investor untuk jual beli saham sektor energi baru terbarukan (EBT) di bursa.”
Ringkasan
Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) menunjukkan pertumbuhan signifikan menjelang usia dua tahun, dengan nilai perdagangan mencapai Rp 24,74 miliar dan volume 696.763 tCO2e hingga 22 Agustus 2025, melonjak 483% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini didukung penambahan proyek baru, didominasi sektor energi, serta peningkatan penggunaan kredit karbon sebagai offset emisi. BEI menargetkan penambahan 50 entitas baru sehingga total pengguna mencapai 149 entitas.
Meskipun bertumbuh, kesadaran dan partisipasi aktif di bursa karbon masih rendah karena sifat sukarela pasar sekunder ini. Tantangan terletak pada permintaan yang masih rendah dan dominasi proyek energi fosil, sehingga diperlukan intervensi kebijakan pemerintah yang lebih kuat dan diversifikasi suplai dari sektor lain seperti kehutanan. BEI berupaya meningkatkan kesadaran melalui program Net Zero Incubator dan menjajaki kerjasama dengan negara lain untuk memastikan pengakuan kredit karbon Indonesia.