JAKARTA — Dinamika pasar modal Indonesia kembali menjadi sorotan seiring langkah strategis PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang tengah mengkaji penyesuaian regulasi pencatatan saham. Salah satu poin krusial dalam kajian ini adalah ketentuan free float, atau proporsi saham yang dimiliki publik dan dapat diperdagangkan secara bebas. Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menegaskan bahwa setiap revisi kebijakan terkait free float akan selalu mempertimbangkan kondisi fundamental perusahaan tercatat dan kapasitas investor. Ini bertujuan menciptakan keseimbangan pasar yang optimal serta likuiditas yang sehat di pasar modal.
Nyoman menambahkan, konsep penyesuaian regulasi ini direncanakan akan dipublikasikan dalam waktu dekat. Langkah ini bertujuan untuk mengundang masukan berharga dari berbagai pemangku kepentingan, memastikan regulasi yang dihasilkan relevan dan akomodatif terhadap perkembangan pasar modal. BEI berkomitmen untuk senantiasa memperhatikan dinamika pasar, melakukan perbandingan (benchmarking) dengan praktik bursa global, serta melibatkan para pemangku kepentingan melalui proses dengar pendapat dalam penyusunan setiap peraturan. Pendekatan ini menunjukkan komitmen BEI terhadap tata kelola yang transparan dan partisipatif.
Tak hanya berfokus pada persentase free float bagi calon perusahaan tercatat, BEI juga secara proaktif mengupayakan peningkatan jumlah penawaran umum perdana (IPO) berskala besar. Inisiatif ini diharapkan dapat mendorong nilai total kapitalisasi free float di bursa. Untuk mencapai tujuan tersebut, BEI sedang melakukan kajian mendalam untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang kerap dihadapi perusahaan skala besar saat akan melakukan IPO. Hasil dari kajian ini nantinya akan menjadi referensi penting dalam merumuskan penyesuaian peraturan yang lebih efektif dan menarik minat perusahaan besar untuk melantai di bursa.
Sejalan dengan upaya BEI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan komitmen serupa dalam memperkuat struktur pasar. OJK saat ini sedang menimbang untuk menaikkan batas minimum free float. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, dalam Rapat Kerja dengan DPR RI, mengungkapkan bahwa OJK berencana mengatur minimum free float menjadi 10 persen, dari yang sebelumnya 7 persen, dengan tetap mempertimbangkan kapitalisasi pasar perusahaan. Keputusan ini menunjukkan langkah progresif dari regulator untuk meningkatkan partisipasi publik dalam kepemilikan saham.
Namun, aspirasi yang lebih tinggi datang dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, berharap batas minimum free float di pasar modal Indonesia dapat ditingkatkan signifikan, mencapai kisaran 30 persen. Angka ini didasarkan pada praktik umum di bursa negara-negara kawasan ASEAN, di mana Indonesia masih menjadi salah satu dengan persentase free float terendah. Peningkatan ini dinilai penting untuk meningkatkan kedalaman, likuiditas, dan daya saing pasar modal domestik di kancah regional.
Sebagai informasi penting, free float merujuk pada jumlah saham suatu perusahaan yang benar-benar tersedia dan diperdagangkan secara bebas kepada publik di pasar modal. Definisi ini secara tegas tidak mencakup saham yang dipegang oleh pemegang saham pengendali, pemegang saham mayoritas, serta saham yang dimiliki oleh komisaris atau direksi perusahaan. Pemahaman yang jelas tentang konsep ini menjadi fundamental bagi setiap pelaku pasar dan investor yang ingin berpartisipasi aktif dalam pasar modal.