Shoesmart.co.id JAKARTA. Terus melemahnya nilai tukar rupiah menjadi sorotan utama, terutama di tengah tren surplus neraca perdagangan Indonesia yang telah berlanjut selama 62 bulan berturut-turut. Menanggapi anomali ini, Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, menegaskan bahwa surplus neraca dagang bukanlah satu-satunya penentu kekuatan kurs mata uang.
Menurut Suhindarto, ada indikator ekonomi makro yang jauh lebih berpengaruh terhadap pergerakan rupiah, yaitu neraca transaksi berjalan. Ia menjelaskan, meskipun neraca perdagangan barang mencatat surplus, tekanan terhadap rupiah akan tetap ada jika neraca transaksi berjalan masih mengalami defisit. Ini adalah faktor krusial yang seringkali luput dari perhatian publik.
Analisis Suhindarto terhadap data neraca transaksi berjalan kuartal I-2025 menunjukkan gambaran yang lebih kompleks. Meski neraca perdagangan barang mencatat surplus signifikan sebesar US$13,06 miliar dan neraca pendapatan sekunder surplus US$1,57 miliar, surplus ini tergerus oleh defisit besar pada neraca jasa yang mencapai US$5,44 miliar dan neraca pendapatan primer sebesar US$9,37 miliar. Sebagai hasilnya, secara keseluruhan neraca transaksi berjalan justru mengalami defisit US$0,18 miliar. Kondisi ini, kata Suhindarto, secara langsung berimplikasi pada pelemahan kurs rupiah yang terus berlanjut.
“Neraca transaksi berjalan adalah indikator yang lebih akurat dan terpercaya dibandingkan neraca perdagangan barang untuk memahami implikasi terhadap nilai tukar. Selama transaksi berjalan masih negatif, tekanan terhadap nilai tukar rupiah akan terus ada,” tegasnya.
Surplus Perdagangan RI Berlanjut, tapi Tekanan Terhadap Rupiah Masih Kuat
Mengenai spekulasi arus modal keluar ke Kamboja yang diduga terkait dengan maraknya aktivitas judi online (judol), Suhindarto menyatakan bahwa hipotesis tersebut masih memerlukan kajian mendalam. “Memang ada arus modal keluar dari Indonesia yang masuk ke Kamboja, namun perlu dipastikan apakah benar asalnya dari Indonesia dan apakah memang terkait dengan aktivitas judol. Validitas dan reliabilitas data tersebut harus diuji lebih lanjut agar tidak menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan,” ujarnya.
Suhindarto juga menyoroti sejumlah faktor eksternal yang memperparah tekanan terhadap rupiah, terutama dari sisi pasar keuangan. Dalam beberapa pekan terakhir, terjadi arus keluar modal asing yang signifikan dari pasar saham dan surat utang domestik Indonesia. Setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan fenomena capital outflow ini.
Pertama, masih tingginya ketidakpastian yang melingkupi perekonomian global. Konflik geopolitik yang tegang dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang kerap berubah-ubah telah menciptakan ketidakpastian di level yang relatif tinggi. Kondisi ini mendorong investor untuk mengalokasikan aset mereka pada instrumen dan destinasi yang dianggap lebih aman atau safe haven.
Kedua, menyempitnya spread imbal hasil investasi antara Indonesia dan AS. The Fed masih mempertahankan suku bunga acuannya pasca penurunan terakhir di akhir tahun lalu, sementara Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali. Dengan risiko ketidakpastian yang masih tinggi dan spread yang menyempit, arus modal keluar asing menjadi terpicu. Investor asing cenderung menghindari risiko, dan pasar domestik kini menawarkan premi yang lebih rendah untuk mengkompensasi risiko tersebut. Suhindarto juga melihat investor asing memanfaatkan harga yang sudah tinggi saat ini, ditambah keuntungan dari translasi akibat apresiasi rupiah sebelumnya, untuk melakukan taking profit. Sebelum Bank Indonesia memangkas suku bunga, yield telah terus turun dan berlanjut pasca pengumuman oleh BI, sempat menyentuh 6,488% pada 22 Juli 2025, level terendah tahun ini. Penurunan yang cukup besar ini membatasi ruang penurunan lebih lanjut dan mendorong aksi taking profit.
Sejumlah Sentimen Ini Mempengaruhi Pergerakan Rupiah Selama Sepekan
Ketiga, prospek ekonomi domestik yang diperkirakan relatif lebih lemah. Perkiraan melambatnya perekonomian dalam negeri membuat investor berekspektasi akan melemahnya kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia, yang pada gilirannya akan menekan profitabilitas mereka. “Oleh karena itu, beberapa waktu terakhir ini kita melihat adanya capital outflow yang cukup besar dari pasar saham, terutama pada saham-saham big caps,” beber Suhindarto.
Berbagai faktor tersebut, mulai dari defisit neraca transaksi berjalan hingga gejolak global dan prospek ekonomi domestik, secara kolektif berperan sangat dominan dalam mempengaruhi capital outflow. Pada akhirnya, semua faktor ini berdampak pada depresiasi atau sulitnya nilai tukar rupiah untuk kembali mencatatkan kinerja positif.