Pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh level Rp 16.700 per dolar AS dalam sepekan terakhir dinilai sudah menunjukkan gejala “overshooting” atau berlebihan. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, yang menekankan bahwa stabilitas rupiah sangat mungkin kembali pulih jika ada koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang lebih koheren dan terpadu.
Menurut Fakhrul, salah satu faktor utama yang terus menekan pergerakan rupiah adalah minimnya kejelasan mengenai pemanfaatan arus dolar yang masuk ke Indonesia. Pasar membutuhkan kepastian mengenai arah investasi dan penggunaan dana dolar tersebut. “Jika dolar milik WNI di luar negeri ditarik pulang, pertanyaannya adalah disalurkan ke instrumen apa, ke sektor mana, dan dengan syarat bagaimana. Tanpa kejelasan itu, pasar membaca kebutuhan dolar Indonesia di masa depan justru meningkat, terutama untuk pembayaran bunga,” jelasnya dalam keterangannya kepada InfoPublik, Senin (29/9/2025).
Untuk mengatasi tantangan ini, Fakhrul menilai bahwa pemerintah perlu segera memperkuat pendalaman pasar keuangan. Ini bisa dilakukan dengan menghadirkan instrumen yang lebih kredibel, seperti penerbitan global bond oleh pemerintah atau obligasi dolar oleh BUMN-BUMN strategis, misalnya Pertamina dan PLN. Ia juga menyoroti bahwa kebutuhan pembiayaan dolar sektor swasta saat ini sedang menurun, yang tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) non-rupiah perbankan yang berada di bawah 80%. “Harus langsung ada prospek proyek dan pinjaman dolar yang jelas. Itu yang membuat pasar percaya bahwa dolar masuk ke Indonesia punya arah,” tegas Fakhrul, menggarisbawahi pentingnya transparansi dan perencanaan yang matang.
Rupiah Loyo, Reasuransi Atur Strategi
Guna menahan pelemahan rupiah lebih lanjut, Fakhrul mengusulkan tiga langkah strategis yang perlu segera diimplementasikan. Pertama, Pemerintah, Pertamina, atau PLN didorong untuk segera menerbitkan dolar bond sebagai sarana menampung likuiditas dolar di dalam negeri. Kedua, bank-bank nasional yang memiliki likuiditas dolar diarahkan untuk menyalurkan pinjaman ke pasar luar negeri, selaras dengan misi penguatan BUMN perbankan di kancah internasional. Ketiga, Fakhrul merekomendasikan peninjauan ulang kebijakan bunga deposito USD 4% yang dinilai memiliki dampak drastis terhadap ekspektasi pasar dan pergerakan nilai tukar.
Tonton: Terendah dalam Sejarah, Nilai Tukar Rupiah Tembus 13.000 Per Dollar Singapura
Lebih lanjut, Fakhrul juga menekankan urgensi untuk membangun pasar mata uang dan derivatif dalam negeri yang lebih dalam dan likuid. Saat ini, Indonesia masih menghadapi keterbatasan aset berdenominasi dolar, baik dalam bentuk pinjaman maupun obligasi. “Kita sudah berhasil menurunkan kebutuhan dolar lewat kewajiban penggunaan rupiah di berbagai transaksi. Ke depan, yang mendesak adalah memperluas instrumen pasar dan memperkuat analisis risiko,” imbuhnya, menyoroti pentingnya diversifikasi dan manajemen risiko yang cermat.
Meskipun nilai tukar rupiah kini masih berada di kisaran Rp 16.700 per dolar AS, Fakhrul yakin bahwa kondisi ini adalah fenomena overshooting sementara. Dengan asumsi bahwa suku bunga di Amerika Serikat akan mengalami penurunan dan neraca perdagangan Indonesia masih menunjukkan surplus yang besar, peluang penguatan rupiah di masa depan sangat terbuka lebar. “Kalau kebijakan bisa dijalankan dengan koheren, rupiah bisa kembali ke level 16.000 atau bahkan lebih kuat. Jadi bukan saatnya membeli dolar sekarang,” pungkasnya, memberikan pandangan optimis terhadap prospek penguatan nilai tukar rupiah.