Shoesmart.co.id , JAKARTA – Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington pekan ini, yang semula diagendakan untuk membahas ketahanan ekonomi global, kini sepenuhnya dibayangi oleh kian memanasnya kembali perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. KTT yang dihadiri oleh lebih dari 10.000 peserta dari 190 negara ini, sejatinya direncanakan untuk fokus pada daya tahan ekonomi global di tengah tekanan geopolitik dan perlambatan ekonomi AS. Namun, eskalasi baru ketegangan dagang antara Washington dan Beijing kini menjadi topik utama, menyusul ancaman Donald Trump untuk membalas kebijakan ekspor China yang drastis terhadap komoditas logam tanah jarang.
Padahal, dalam lima bulan terakhir, kedua raksasa ekonomi tersebut sempat membangun gencatan perang dagang yang berhasil menurunkan bea masuk dari level tiga digit. Kondisi ini sebelumnya mendorong peningkatan proyeksi pertumbuhan global versi IMF, membangkitkan harapan akan prospek ekonomi global yang lebih cerah. Optimisme bahkan sempat menguat menjelang rencana pertemuan antara Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang dijadwalkan akhir bulan ini, mengindikasikan kemungkinan meredanya ketegangan dagang AS-China.
Sayangnya, semua harapan tersebut runtuh secara tiba-tiba pada Jumat (10/10/2025). Donald Trump kembali mengancam akan membatalkan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping dan menaikkan tarif impor China secara masif, disertai langkah-langkah balasan lainnya. Situasi semakin menegang ketika Beijing merespons dengan cepat, memberlakukan tarif pelabuhan baru terhadap kapal buatan atau berbendera Amerika Serikat, sebagai balasan setimpal terhadap kebijakan biaya pelabuhan serupa yang diberlakukan Washington untuk kapal asal China.
Martin Muehleisen, mantan kepala strategi IMF yang kini bergabung dengan Atlantic Council, berpendapat bahwa ancaman Donald Trump mungkin saja merupakan strategi tawar-menawar politik. Namun, ia menegaskan, langkah tersebut tetap menciptakan ketidakpastian besar di pasar keuangan. “Semoga nalar menang. Jika Trump benar-benar kembali ke tarif 100% untuk barang China, pasar akan sangat terpukul,” ujarnya, menggarisbawahi potensi gejolak serius pada ekonomi global. Ancaman ini memang telah memicu aksi jual pasar saham terbesar di Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir, di tengah kekhawatiran atas gelembung pasar saham yang dipicu euforia investasi kecerdasan buatan (AI).
Di tengah meningkatnya ketegangan dagang AS-China ini, masih menjadi pertanyaan besar apakah Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang memimpin negosiasi perdagangan dengan China, akan bertemu dengan pejabat Beijing selama pertemuan di Washington. Keraguan ini semakin menyoroti ketidakpastian seputar upaya diplomatik untuk meredakan gejolak perang dagang yang kembali mencengkeram ekonomi global.
Meskipun demikian, Dana Moneter Internasional (IMF) tetap berupaya menunjukkan optimisme. Sebelum ketegangan dagang kembali memuncak, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva telah menyoroti ketahanan ekonomi global dalam menghadapi berbagai guncangan, mulai dari biaya tarif, ketidakpastian ekonomi, pelemahan pasar tenaga kerja AS, hingga lonjakan adopsi AI. Dalam pratinjau World Economic Outlook yang akan dirilis Selasa mendatang, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2025 hanya sedikit melambat dari 3,3% pada 2024. Bahkan, IMF sempat menaikkan proyeksi pertumbuhan 2025 menjadi 3,0% pada Juli lalu, berkat penurunan bea masuk AS–China yang sempat meredakan ketegangan dagang. Namun, Georgieva mengingatkan, “Kita melihat ketahanan nyata di dunia, tapi ini tetap masa yang sangat tidak pasti. Risiko pelemahan masih mendominasi.”
Pada kesempatan ini, Amerika Serikat juga secara aktif mendorong IMF dan Bank Dunia untuk kembali memfokuskan diri pada mandat utama mereka, yaitu stabilitas keuangan dan pembangunan, alih-alih isu iklim dan kesetaraan gender. Pertemuan ini sekaligus menandai debut publik Dan Katz, Deputi Direktur Pelaksana IMF yang baru, seorang mantan bankir investasi dan kepala staf Bessent. Negara-negara anggota akan mengamati dengan seksama bagaimana Katz menjalankan agenda AS, termasuk dorongan agar IMF lebih keras mengkritik kebijakan ekonomi China yang berbasis negara.
Selain itu, dukungan AS terhadap Argentina, peminjam terbesar IMF, turut menjadi sorotan utama, terutama karena Presiden Argentina Javier Milei dijadwalkan bertemu Donald Trump di Gedung Putih pekan ini. Georgieva menyambut baik langkah tersebut sebagai upaya penting untuk menjaga reformasi berbasis pasar di Buenos Aires tetap berjalan. Kendati demikian, Muehleisen kembali mengingatkan bahwa dominasi AS berisiko menggeser peran IMF sebagai lembaga multilateral. “Apakah IMF masih lembaga global yang independen, atau mulai menjadi perpanjangan tangan Departemen Keuangan AS?” tanyanya, mencerminkan kekhawatiran tentang independensi institusi tersebut.
Di luar isu AS–China yang mendominasi, para menteri keuangan negara G7 dijadwalkan membahas langkah-langkah untuk memperketat sanksi terhadap Rusia demi mengakhiri perang di Ukraina. Inggris secara khusus mendorong aksi bersama G7 dan Uni Eropa guna memangkas pendapatan energi Rusia dan membatasi akses Moskow terhadap aset luar negeri. Salah satu opsi penting yang tengah dibahas adalah rencana Uni Eropa untuk menggunakan aset beku Rusia sebagai jaminan pinjaman sebesar 140 miliar euro (US$162 miliar) bagi Ukraina, menunjukkan fokus berkelanjutan pada stabilitas geopolitik dan ekonomi global.
Ringkasan
Pertemuan IMF-Bank Dunia di Washington, yang seharusnya membahas ketahanan ekonomi global, terancam oleh eskalasi perang dagang AS-China. Ancaman Donald Trump untuk membalas kebijakan ekspor China terhadap komoditas logam tanah jarang memicu ketegangan baru. Padahal, sempat ada gencatan perang dagang yang meningkatkan proyeksi pertumbuhan global dan harapan akan pertemuan Trump dan Xi Jinping.
Namun, Trump kembali mengancam membatalkan pertemuan dan menaikkan tarif impor China, dibalas oleh Beijing dengan tarif pelabuhan baru untuk kapal AS. Ancaman ini menciptakan ketidakpastian besar di pasar keuangan dan memicu aksi jual pasar saham. Di tengah ketegangan ini, pertemuan antara Menteri Keuangan AS dan pejabat Beijing menjadi diragukan, menimbulkan pertanyaan tentang upaya meredakan perang dagang.