Dalam beberapa hari terakhir, sorotan dunia tertuju pada Nepal. Sebuah gelombang protes dan unjuk rasa massal telah mengguncang berbagai wilayah di negara itu, memicu krisis yang mendalam. Situasi ini bermula ketika pemerintah setempat mengambil langkah drastis: memblokir akses ke seluruh platform media sosial populer, termasuk WhatsApp, Facebook, TikTok, dan Instagram. Alasan resminya adalah untuk membendung penyebaran hoaks dan menjaga stabilitas keamanan nasional. Namun, alih-alih meredam, kebijakan ini justru memantik kemarahan publik yang lebih besar, mengubah ketidakpuasan menjadi kerusuhan tak terkendali yang merenggut setidaknya 19 nyawa dan memicu krisis kepemimpinan nasional.
Tekanan publik yang tak terbendung akhirnya memaksa pemerintah Nepal mencabut larangan tersebut. Kasus ini menjadi sebuah studi kasus yang gamblang, menunjukkan bagaimana upaya pemblokiran media sosial, yang seharusnya menjadi solusi, justru bisa berbalik arah menjadi bumerang yang merugikan stabilitas dan kepercayaan masyarakat.
Mengapa Kemarahan Publik Begitu Besar?
Di balik gejolak yang masif ini, ada setidaknya lima faktor utama yang menjelaskan mengapa kebijakan pemblokiran media sosial di Nepal memicu amarah publik yang begitu besar:
- Media sosial sebagai ruang publik utama
Di banyak negara, termasuk Nepal, media sosial telah melampaui sekadar sarana hiburan. Platform ini menjelma menjadi kanal informasi vital, ruang bagi ekspresi demokrasi, dan wadah solidaritas sosial. Memblokirnya sama saja dengan menutup alun-alun kota tempat warga berkumpul, berkomunikasi, dan berbagi aspirasi.
- Ekonomi digital yang terdampak
Faktanya, ribuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pekerja lepas, serta kreator digital kini sangat bergantung pada media sosial untuk kelangsungan hidup dan mata pencarian mereka. Pemblokiran total otomatis menghantam roda ekonomi digital mereka, menyebabkan kerugian finansial yang signifikan.
- Krisis kepercayaan pada pemerintah
Masyarakat cenderung melihat pemblokiran akses ini bukan semata-mata kebijakan teknis, melainkan sinyal kuat adanya represi atau upaya pembungkaman. Ketika saluran komunikasi utama dibungkam, kecurigaan bahwa pemerintah sedang menyembunyikan sesuatu semakin menguat, memperdalam jurang ketidakpercayaan.
- Efek domino informasi
Alih-alih mengurangi penyebaran hoaks, pemblokiran total justru paradoksnya mendorong rumor dan informasi yang belum terverifikasi menyebar lebih liar melalui jalur alternatif, seperti Virtual Private Network (VPN) dan aplikasi pesan terenkripsi yang lebih sulit dipantau.
- Psikologi kolektif
Kebijakan pemblokiran ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara simultan, menciptakan rasa frustrasi kolektif yang mendalam. Frustrasi ini, ketika tidak tersalurkan, dengan cepat dapat bermetamorfosis menjadi amarah massal yang destruktif.
Belajar dari Negara Lain
Fenomena pembatasan atau pemblokiran media sosial bukanlah hal baru. Nepal bukanlah negara pertama yang menerapkan kebijakan serupa. Banyak negara memiliki sejarah dalam membatasi akses digital, meskipun dengan skala, durasi, dan konteks politik yang berbeda.
Misalnya, Iran dan Myanmar beberapa kali memblokir media sosial, terutama saat terjadi demonstrasi politik yang masif. Pembatasan di sana seringkali berlangsung cukup lama, bahkan semi-permanen. Meskipun respons publik keras, pemerintah yang memiliki dukungan kuat cenderung mampu mempertahankan kebijakan tersebut.
Lain halnya dengan Tiongkok yang memilih model pembatasan permanen dengan mengganti platform global seperti Facebook dan Twitter dengan alternatif lokal yang dikelola pemerintah, seperti WeChat dan Weibo. Karena sifatnya yang sistemik dan terintegrasi, masyarakat dipaksa untuk “terbiasa” dengan ekosistem digital yang tertutup.
Indonesia juga memiliki pengalamannya sendiri. Pada tahun 2019, pasca-kerusuhan Pemilu, pemerintah membatasi fitur WhatsApp dan Instagram, khususnya untuk pengiriman foto dan video. Pembatasan ini berlangsung singkat, hanya beberapa hari, dengan respons publik yang relatif lebih terkendali. Sebagian warga beralih menggunakan VPN dan alternatif lain. Lebih baru, pada kerusuhan pasca-demo DPR, beberapa platform media sosial menonaktifkan fitur live streaming secara proaktif untuk membatasi penyebaran provokasi.
Perbedaan krusial terletak pada pendekatan. Indonesia menerapkan pembatasan yang parsial dan temporer. Sementara itu, Nepal memilih pemblokiran total dalam situasi politik yang sudah rapuh, sehingga dampaknya jauh lebih merusak dan memicu krisis besar yang tak terduga.
Implikasi bagi Kebijakan Digital
Kasus Nepal menegaskan bahwa pemblokiran total media sosial di era digital modern sudah tidak lagi efektif sebagai strategi stabilisasi politik. Alih-alih meredam gejolak, kebijakan semacam ini justru berpotensi memperdalam ketidakpercayaan publik, melumpuhkan roda ekonomi digital yang digerakkan rakyat, dan merusak citra pemerintah di mata komunitas internasional.
Rekomendasi Kebijakan Digital yang Tepat dan Terukur
Untuk menavigasi dilema antara menjaga stabilitas di satu sisi dan memberikan kebebasan digital di sisi lain, diperlukan kebijakan digital yang tepat dan terukur. Pendekatan ini harus mempertimbangkan beberapa unsur fundamental sebagai berikut:
- Fokus pada literasi digital, bukan pemblokiran
Investasi jangka panjang yang berkelanjutan harus diarahkan pada pendidikan publik agar masyarakat memiliki kapasitas untuk mengenali dan menyaring hoaks serta informasi salah, daripada sekadar mematikan kanal komunikasi secara total.
- Penguatan manajemen krisis informasi
Pemerintah perlu membangun dan mempersiapkan tim respons cepat yang sigap untuk melawan penyebaran hoaks dengan informasi resmi yang cepat, akurat, terbuka, dan transparan kepada publik.
- Pembatasan harus proporsional dan berbasis hukum
Jika pembatasan akses memang benar-benar dibutuhkan, kebijakan tersebut harus bersifat sementara, parsial (misalnya pembatasan fitur forward di WhatsApp), didasarkan pada regulasi hukum yang jelas, serta diawasi oleh lembaga independen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
- Kolaborasi dengan platform digital
Daripada menutup akses, pemerintah sebaiknya menjalin kerja sama erat dengan penyedia platform digital untuk memantau dan menghapus konten berbahaya atau provokatif, sesuai dengan kerangka hukum nasional yang berlaku.
- Bangun kepercayaan publik
Transparansi adalah kunci utama. Masyarakat akan lebih mungkin menerima kebijakan yang dikomunikasikan secara terbuka, berbasis data yang valid, dan konsisten, ketimbang larangan sepihak yang disampaikan tanpa penjelasan memadai.
Penutup
Pelajaran berharga dari Nepal hari-hari ini menunjukkan bahwa pemblokiran media sosial bisa merupakan “jalan pintas” yang sangat mahal dan berisiko. Meskipun mungkin memberikan efek instan, potensi kerugiannya bisa jauh melampaui manfaat yang diharapkan. Kasus Nepal adalah alarm keras yang mengingatkan kita bahwa di era digital ini, upaya membungkam ruang publik daring memiliki potensi besar untuk menyulut api kemarahan rakyat yang sulit dipadamkan.
Oleh karena itu, pemerintah manapun, termasuk Indonesia, perlu sangat berhati-hati dalam merumuskan kebijakan digital. Menjaga stabilitas tidak bisa lagi dicapai dengan mematikan percakapan publik, melainkan harus dengan membangun kepercayaan, memperkuat literasi digital masyarakat, dan membuka ruang dialog yang konstruktif. Hanya dengan pendekatan holistik semacam inilah demokrasi digital dapat tumbuh sehat dan stabilitas politik tetap terjaga dalam jangka panjang.