Bank Indonesia (BI) menegaskan optimisme kuatnya terhadap pertumbuhan kredit perbankan, memproyeksikan angka 8-11 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada akhir tahun 2025. Keyakinan ini tetap dipertahankan meskipun sektor perbankan menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari sisi permintaan. Lebih jauh, BI juga memandang tahun 2026 akan menunjukkan peningkatan yang lebih baik dalam laju pertumbuhan kredit.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Irman Robinson, menyatakan keyakinan tersebut saat Media Gathering di Bukittinggi, Jumat (24/10). “Pertumbuhan kredit kami tetap yakin di tahun ini 8-11 persen, kami yakin bisa tercapai nanti di akhir tahun. Kalau tahun depan kita juga yakin itu akan meningkat di tahun 2026,” ungkap Irman.
Irman mencatat, data pertumbuhan kredit pada September 2025 menunjukkan perbaikan dibanding bulan sebelumnya, mencapai 7,7 persen. Namun, angka ini masih memerlukan dorongan signifikan agar target yang ditetapkan dapat tercapai. Pendorong utama pertumbuhan kredit ini adalah sektor kredit investasi yang melonjak 15,18 persen. Sementara itu, kredit modal kerja sedikit melambat dengan pertumbuhan 3,37 persen, dan kredit konsumtif tumbuh 7,42 persen.
Selain didukung oleh segmen kredit tertentu, pertumbuhan kredit perbankan juga diwarnai oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh solid sebesar 11,8 persen pada periode yang sama. Kinerja positif DPK ini terutama didorong oleh kontribusi signifikan dari kelompok bank BUMN dan bank umum swasta nasional (BUSN), menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan tetap tinggi.
Namun demikian, ada satu segmen yang menunjukkan perlambatan mencolok: kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), yang hanya tumbuh 0,23 persen. Fenomena ini terjadi meskipun penyerapan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah mencapai 71 persen pada September 2025. Irman menjelaskan bahwa perlambatan ini didominasi oleh kredit UMKM yang bersifat komersial.
Dari sisi permintaan, BI mengamati indikator belanja modal (capital expenditure/capex) atau investasi korporasi secara umum masih relatif baik. Namun, terdapat beberapa tantangan fundamental yang menghambat akselerasi pertumbuhan kredit. Salah satunya adalah tingginya angka undisbursed loan (UL), yaitu pinjaman yang telah disetujui atau dijanjikan oleh bank namun belum dicairkan oleh nasabah.
Irman merinci, rasio UL secara agregat mencapai sekitar 22,54 persen jika dibandingkan dengan total plafon fasilitas kredit yang telah diberikan perbankan. Angka ini mencerminkan sejumlah faktor kompleks yang memengaruhi keputusan korporasi untuk tidak segera mencairkan dana pinjaman tersebut. Kondisi ini menjadi sorotan penting bagi stabilitas dan pertumbuhan sektor perbankan.
Tingginya undisbursed loan berkaitan erat dengan sikap “wait and see” para pengusaha atau investor. Mereka cenderung mengamati kondisi perekonomian secara cermat, terutama di tengah ketidakpastian global yang meningkat. Isu-isu seperti kenaikan tarif perdagangan dan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang fluktuatif menyebabkan korporasi menunda keputusan investasi mereka, menunggu momen yang lebih pasti.
Faktor lain yang turut menghambat penyerapan kredit adalah kinerja penjualan yang tinggi di beberapa sektor industri. Korporasi di sektor-sektor ini cenderung menggunakan dana internal mereka untuk operasional atau ekspansi, alih-alih mengambil pinjaman dari bank. Hal ini secara langsung mengurangi permintaan kredit baru, menyebabkan pertumbuhan kredit di sektor-sektor tersebut menjadi terhambat.
Terakhir, namun tak kalah penting, adalah transmisi suku bunga kredit yang masih berjalan lambat di perbankan. Padahal, BI telah menurunkan suku bunga acuan total 150 basis poin sejak September 2024. Ironisnya, suku bunga kredit bank hanya turun sekitar 15 basis poin. “Kami yakini bahwa kalau misalnya transmisi suku bunga itu bisa lebih cepat, tentunya ini juga akan mendorong perbaikan dari demand side,” tegas Irman, menyoroti urgensi percepatan respons perbankan terhadap kebijakan moneter BI untuk mendongkrak permintaan kredit.