Jarak BI Rate vs LPS Rate jadi Sorotan, Jangan Ada Matahari Kembar

Pembahasan hangat menyertai langkah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memangkas Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) simpanan rupiah bank umum menjadi 3,75%. Kebijakan ini, yang sejalan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) ke 5%, justru menimbulkan kekhawatiran baru. Pasalnya, pelebaran selisih antara kedua bunga acuan tersebut dikhawatirkan dapat menciptakan ‘matahari kembar’ dalam sistem moneter nasional, mengundang diskusi mendalam mengenai stabilitas dan koordinasi kebijakan.

Menanggapi fenomena ini, pengamat perbankan dari Binus University, Doddy Ariefianto, dengan tegas menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) harus tetap menjadi pusat gravitasi utama yang mengendalikan dinamika suku bunga di perekonomian. Menurut Doddy, TBP hanya berfungsi sebagai orbit tambahan atau bersifat sekunder. Ia menekankan, “Primary-nya tetap BI Rate. Begitu BI Rate turun, dalam satu sampai tiga bulan bunga DPK akan ikut turun. TBP hanya secondary.”

Kendati demikian, Doddy menyoroti jurang yang kini makin melebar antara BI Rate dan TBP, yang tercatat mencapai 1,25%. Selisih ini, menurutnya, merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah. Apabila kondisi ini terus berlanjut, kesenjangan tersebut berpotensi tidak hanya mengganggu stabilitas sistem keuangan, tetapi juga menimbulkan distorsi signifikan di pasar. “Mestinya sejalan, jangan sampai gap-nya terlalu lebar dan jangan sampai ada matahari kembar. Di mana-mana, bank sentral adalah satu-satunya yang berhak mengarahkan suku bunga ekonomi,” tegas Doddy, memperingatkan potensi turbulensi.

Doddy menjelaskan bahwa TBP, meski bersifat mengikat sebagai batas jaminan simpanan masyarakat, seharusnya bergerak mengikuti irama BI Rate. Ia berargumen bahwa arah suku bunga simpanan di perbankan lebih banyak dipengaruhi oleh denyut kebijakan Bank Indonesia, sehingga “LPS mestinya follow, bukan memimpin BI Rate.” Ia juga memaparkan bahwa selisih wajar antara TBP dan BI Rate adalah ketika TBP sedikit di atas BI Rate, dengan rentang 0,5% hingga 1%. Ini karena deposito bank secara praktis menawarkan bunga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan suku bunga acuan pasar uang yang nyaris bebas risiko. “BI Rate itu acuan money market yang risk free. TBP dihitung dari bunga simpanan bank, dan special rate deposito biasanya 0,5% sampai dengan 1% lebih tinggi. Jadi, selisih sejumlah itu masih normal,” urainya.

Belum lama ini, LPS memang telah melakukan pemangkasan bunga penjaminan simpanan rupiah sebesar 25 basis poin (bps), menetapkannya pada 3,75% untuk bank umum dan 6,25% untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di sisi lain, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya (BI Rate) pada level 5%. Perhitungan menunjukkan bahwa saat ini, terdapat selisih 125 basis poin antara BI Rate dan TBP. Secara spesifik, TBP untuk bank umum berada di 3,75%, atau 1,25 poin lebih rendah dari BI Rate 5%. Sementara itu, untuk BPR, TBP ditetapkan 6,25%, atau 1,25 poin lebih tinggi dari BI Rate.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menepis anggapan adanya saling kunci atau konflik dalam kebijakan suku bunga antara kedua lembaga. Purbaya menegaskan, hubungan antara LPS dan Bank Indonesia justru bagaikan tarian yang saling menguatkan, bukan pertarungan yang saling meniadakan. “Enggak saling mengunci, malah saling mendukung. Kalau BI menurunkan BI Rate lalu LPS menaikkan, baru kita berantem. Tapi kalau BI menurunkan, kami juga menurunkan,” jelas Purbaya, menekankan sinergi kebijakan.

Purbaya menambahkan bahwa pemangkasan bunga penjaminan oleh LPS ini bukan tanpa alasan. Keputusan tersebut diambil dengan mencermati tren penurunan suku bunga simpanan di masa mendatang, sekaligus sebagai langkah antisipatif guna memperkuat kinerja perekonomian nasional. “Kami juga ingin menegaskan sinyal sinergi kebijakan dengan otoritas lain,” ujarnya. Berbagai faktor lain turut menjadi pertimbangan, meliputi upaya mendorong suku bunga kredit agar lebih kompetitif, proyeksi likuiditas perbankan yang masih longgar, ruang bagi bank untuk mengelola suku bunga simpanan, serta tingkat cakupan penjaminan yang dinilai masih memadai.

Ketika ditanya mengenai kemungkinan pemangkasan lanjutan terhadap TBP, Purbaya tidak menampik peluang tersebut. Ia merujuk pada pengalaman saat pandemi Covid-19, ketika suku bunga penjaminan sempat menyentuh level terendah 3,5%. “Bisa saja kita ke sana lagi. Bahkan sampai 3% juga bisa, tapi tentu kita lihat dulu kondisi ekonomi, arah kebijakan BI, dan situasi global. Jangan lupa di LPS juga ada anggota Dewan Komisioner ex-officio dari BI, jadi saya tidak bisa jalan sendirian, liar begitu,” pungkasnya, menunjukkan pendekatan yang terukur dan kolaboratif.

Isu mengenai beban perbankan menjadi sorotan, mengingat bank-bank masih menghadapi tantangan untuk menurunkan bunga simpanan di tengah penurunan suku bunga acuan BI dan LPS. Namun, Purbaya justru berpendapat bahwa keputusan LPS ini dapat meringankan beban operasional perbankan. “Ini membantu mereka untuk tidak berebut dana terlalu tinggi. Karena masyarakat tahu kalau bunga simpanan terlalu tinggi, itu di atas batas penjaminan LPS dan tidak dijamin. Jadi secara tidak langsung kami membantu bank menurunkan cost of capital,” jelasnya, menyoroti fungsi tidak langsung LPS dalam menstabilkan biaya dana bank.

Merunut catatan historis, dinamika Tingkat Bunga Penjaminan LPS dan BI Rate menunjukkan pola yang menarik. Sepanjang Januari 2019 hingga Juli 2021, TBP untuk simpanan rupiah di bank umum kerap berada di atas BI Rate, dengan selisih berkisar antara 50 hingga 125 bps. Kemudian, antara September 2021 hingga Mei 2022, kedua suku bunga ini sempat berada pada level yang sama, yaitu 3,50%. Perubahan signifikan terjadi pada kuartal IV/2022, tepatnya bulan Oktober, ketika TBP untuk simpanan rupiah bank umum sebesar 3,75% mulai berada di bawah BI Rate 4,75%, menciptakan perbedaan 100 bps. Sejak saat itu hingga kini, TBP LPS konsisten berada di bawah BI Rate, bahkan sempat mencatat perbedaan terbesar 200 bps pada periode April hingga Agustus 2024, dengan bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum 4,25% dan suku bunga acuan 6,25% sebelum pemangkasan terbaru.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) sendiri telah menegaskan tidak menginginkan adanya perbedaan suku bunga acuan antarlembaga yang justru berpotensi saling mengunci. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, mengungkapkan bahwa isu perbedaan suku bunga ini, termasuk kaitannya dengan suku bunga penjaminan LPS, telah menjadi topik pembahasan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). “Tentu dalam konteks itu kami [Bank Indonesia] tidak menginginkan bahwa adanya beberapa suku bunga yang dimiliki masing-masing otoritas dalam menjalankan tugasnya itu bisa sifatnya saling kunci-mengunci dalam kita menurunkan suku bunga,” papar Erwin.

Erwin menegaskan bahwa fokus utama BI terkait suku bunga saat ini adalah menjaga stabilitas. Di samping itu, BI juga berupaya memastikan transmisi penurunan suku bunga acuan benar-benar berdampak pada penurunan suku bunga kredit, sehingga pertumbuhan kredit dapat terus didorong guna menopang pemulihan ekonomi. Muncul pertanyaan apakah perbedaan antara suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,25% dengan suku bunga penjaminan LPS yang lebih rendah, menjadi faktor penghambat bagi bank untuk menurunkan bunga deposito, terutama mengingat suku bunga simpanan di atas 5% tidak dijamin oleh LPS. Menanggapi ini, Erwin menjelaskan bahwa BI secara berkala melakukan asesmen terhadap ruang penurunan suku bunga, baik dari perspektif global maupun domestik, seraya menegaskan independensi kebijakan suku bunga BI.

“Bank Indonesia dari waktu ke waktu, melihat perkembangan yang ada di global maupun domestik, tentu yang dilihat Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas, setelah stabilitas bisa kami jaga, kami melihat ruang penurunan suku bunganya,” papar Erwin. Ia menambahkan, dialog dan koordinasi intensif dengan LPS terus dilakukan untuk memastikan bahwa suku bunga antar-otoritas dapat saling mendukung, alih-alih menimbulkan hambatan dalam transmisi kebijakan moneter yang krusial.

Menutup diskusi, Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, turut menyoroti bahwa kesenjangan antara BI Rate dan TBP berpotensi besar memengaruhi perilaku deposan dan memicu risiko sistemik. “Apabila bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS, maka simpanan nasabah bisa tidak dijamin. Ini membuat nasabah cenderung memindahkan dana ke bank besar yang dianggap lebih aman,” jelas Trioksa. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa suku bunga simpanan yang tinggi akan memaksa bank untuk menetapkan suku bunga kredit yang juga tinggi, berujung pada peningkatan risiko kredit. Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang berkelanjutan, Trioksa menyarankan agar tingkat bunga penjaminan idealnya tidak terpaut jauh dari BI Rate, atau bahkan berada pada level yang sama. “Dengan begitu, bank tetap punya ruang kompetitif tanpa meningkatkan risiko yang berlebihan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *