Upaya berkelanjutan untuk memperbaiki kinerja emiten BUMN Karya terus menjadi sorotan, terutama di tengah dinamika pembahasan dan pengambilan keputusan terkait Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perkembangan penting terjadi ketika Komisi VI DPR RI dan Pemerintah berhasil menyepakati seluruh poin RUU BUMN dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I di Jakarta pada Jumat (26/9/2026), menandakan bahwa RUU tersebut akan segera dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Salah satu perubahan paling signifikan dalam RUU BUMN ini adalah rencana transformasi status Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN). Perubahan ini dipercaya akan semakin mempertegas posisi Danantara sebagai entitas pengendali aset-aset perusahaan pelat merah. Apalagi, berbagai aksi korporasi penting dari emiten BUMN, termasuk rencana merger emiten BUMN Karya yang ditargetkan rampung pada akhir tahun 2025, sangat bergantung pada persetujuan dari Danantara.
Menanggapi rencana perubahan ini, PT PP Tbk (PTPP) menyatakan optimisme bahwa transformasi status Kementerian BUMN menjadi lembaga tidak akan signifikan memengaruhi kinerja perseroan. Joko Raharjo, Corporate Secretary PTPP, menambahkan bahwa proses rencana merger BUMN Karya sendiri masih dalam tahap kajian. “Saat ini kami masih menunggu hasil kajian tersebut,” ujarnya kepada Kontan pada Jumat (26/9).
Senada, Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), Ngatemin alias Emin, menegaskan bahwa WIKA tetap fokus pada peningkatan kinerja operasional, tata kelola, digitalisasi, serta inovasi metode kerja untuk memastikan penyelesaian proyek sesuai target. Hal ini untuk memastikan bisnis WIKA tetap relevan dengan setiap kebijakan yang diambil oleh para pemangku kepentingan utama. Emin meyakini bahwa setiap keputusan yang diambil telah melalui berbagai aspek kajian, baik dari sisi birokrasi maupun keberlanjutan operasional. “Apapun keputusan yang nantinya diambil, kami meyakini tentunya hal ini sudah melalui berbagai aspek kajian, baik aspek birokrasi maupun keberlanjutan operasional,” katanya kepada Kontan pada Senin (22/9). Terkait integrasi BUMN Karya, WIKA juga mendukung penuh kebijakan pemerintah, melihat konsolidasi ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat peran BUMN Karya dalam mendukung program pemerintah serta menjaga keberlangsungan perseroan sebagai agen utama pembangunan infrastruktur nasional.
Namun, tidak semua pihak menyambut baik proses ini. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menilai penyusunan RUU BUMN terkesan sangat tergesa-gesa. Pembahasan yang dilakukan secara terburu-buru untuk mengubah struktur kelembagaan pengawas aset negara bernilai triliunan rupiah menunjukkan kurangnya kehati-hatian dalam aspek governance (tata kelola) dan transparansi. Budi menyoroti risiko tata kelola Danantara yang sangat tinggi sebagai perusahaan holding pengelola aset triliunan rupiah, sehingga membutuhkan sistem check and balance yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Ia menambahkan bahwa tata kelola Danantara saat ini masih rendah, ditandai dengan minimnya transparansi ke publik, belum adanya laporan keuangan publik, pengawasan yang minimal, serta diisi oleh mantan presiden. “Jangan korbankan akuntabilitas demi kecepatan. Seharusnya, Kementerian BUMN bisa berperan sebagai badan pengawas yang independen,” tegas Budi kepada Kontan pada Minggu (28/9).
Di sisi lain, VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, berpandangan bahwa perubahan status menjadi BP BUMN tidak akan mengubah peran esensial Kementerian BUMN. Audi menjelaskan bahwa BP BUMN akan tetap memegang saham seri A (atau 1%) sebagai representasi pemerintah sebagai regulator, sementara fungsi operasional akan dialihkan kepada Danantara. “Sehingga kontrol negara tetap ada, meski mekanisme pengambilan keputusan akan melibatkan BP BUMN dan Danantara,” ujarnya kepada Kontan pada Minggu (28/9).
Prospek Kinerja
Terkait prospek kinerja, Budi Frensidy khawatir target merger BUMN Karya justru akan memperkeruh kewajiban-kewajiban emiten konstruksi pelat merah ini. Menurutnya, risiko terbesar merger bukan hanya pada hal teknis, tetapi juga masalah tata kelola. “Perlu diperhatikan juga apakah penyelesaian kewajiban tersebut tetap kuat di mata hukum di entitas baru pasca merger, serta bagaimana komitmen Pemerintah dan BUMN Karya bahwa entitas baru pasca merger akan menyelesaikan masalah-masalah yang ada,” katanya. Budi juga menyarankan pelaku pasar untuk lebih menanti penyelesaian kewajiban utang para BUMN Karya guna memperbaiki debt to equity ratio (DER), ketimbang mencari emiten yang diprediksi akan mencatat kinerja terbaik ke depan.
Oktavianus Audi menyoroti tiga faktor kunci keberhasilan rampungnya merger emiten BUMN Karya. Pertama, selesainya proses administrasi peralihan kelembagaan BP BUMN dan Danantara. Kedua, proses restrukturisasi utang emiten BUMN Karya yang mampu berjalan dan mendapatkan persetujuan dari para pemegang saham. Terakhir, kepatuhan para emiten BUMN Karya terhadap regulasi pasar modal, mengingat adanya potensi delisting beberapa emiten BUMN Karya yang dapat menghambat proses merger. “Terlebih, adanya emiten BUMN Karya yang memiliki potensi delisting akan menghambat (proses merger),” paparnya.
Ke depan, kinerja emiten BUMN Karya secara keseluruhan masih berpotensi stabil seiring dengan implementasi konsolidasi yang diharapkan dapat menurunkan biaya overhead, memperbaiki negosiasi dengan kreditur, dan memungkinkan penciptaan proyek-proyek skala besar. “Selain itu, restrukturisasi utang yang berhasil, seperti pada PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang pada beberapa seri obligasi telah mendapatkan persetujuan,” ungkap Audi.
Secara spesifik, PTPP dinilai Audi akan mencatatkan kinerja yang membaik hingga akhir tahun 2025, terutama dari sisi penambahan kontrak baru, meskipun laba perusahaan cenderung turun. WIKA, di sisi lain, masih aktif memangkas utang di kuartal II 2025. Sementara itu, ADHI masih terbebani utang yang tinggi, dan proses restrukturisasi utang WSKT terus berjalan. Berdasarkan analisisnya, Audi merekomendasikan “trading buy” untuk saham PTPP dengan target harga Rp 472 per saham.
Ringkasan
Rencana transformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) dan pembentukan Danantara sebagai entitas pengendali aset BUMN menjadi sorotan utama. Hal ini dipengaruhi oleh pembahasan RUU BUMN yang telah disepakati dan akan segera disahkan. Beberapa emiten BUMN Karya, seperti PTPP dan WIKA, menyatakan optimisme terhadap perubahan ini dan tetap fokus pada peningkatan kinerja operasional serta mendukung merger BUMN Karya untuk memperkuat peran dalam pembangunan infrastruktur nasional.
Namun, pengamat pasar modal menyoroti potensi risiko tata kelola Danantara yang tinggi dan proses penyusunan RUU BUMN yang tergesa-gesa, menekankan perlunya check and balance yang kuat. Meskipun demikian, ada pandangan bahwa perubahan ini tidak akan mengubah peran esensial pemerintah sebagai regulator. Keberhasilan merger BUMN Karya bergantung pada selesainya proses administrasi, restrukturisasi utang, dan kepatuhan terhadap regulasi pasar modal, dengan prospek kinerja yang diharapkan stabil seiring konsolidasi dan restrukturisasi utang.